Jatengnyamleng.id
Lumpia Semarang, Ada “Cerita Cinta” di Balik Kelezatannya

Lumpia Semarang, Ada “Cerita Cinta” di Balik Kelezatannya

Lumpia, kudapan khas Semarang, akulturasi tradisi kuliner Tionghoa-Jawa. (Badiatul Muchlisin Asti/Jatengnyamleng ID)

Siapa yang tak kenal lumpia? Sebagian besar masyarakat Indonesia pasti sudah mengenalnya, sebagaimana telah mengenal pempek (khas Palembang), dodol (Khas Betawi dan Garut), jenang (khas Kudus), dan kudapan khas Indonesia lainnya.

 

Lumpia berbentuk bulat panjang, kulitnya terbuat dari tepung, sementara isiannya berupa campuran berbagai sayuran seperti wortel, bengkoang, dan kol serta daging giling. Lumpia banyak dijumpai di banyak daerah, bahkan hampir bisa ditemukan di sekitar negara Asia dengan nama spring roll


Namun lumpia paling terkenal adalah lumpia Semarang. Bahkan lumpia telah menjadi ikon bagi kota  yang pernah dijuluki “Venesia dari Timur” oleh orang-orang Belanda karena keindahan geologinya. Semarang pula telah masyhur dijuluki sebagai “Kota Lumpia”. 


Kemasyhuran Lumpia Semarang dibanding lumpia-lumpia lainnya karena cita rasanya yang memang terkenal akan kelezatannya. Di kalangan wisatawan, lumpia termasuk oleh-oleh paling diburu saat plesir ke Kota Semarang. 


Kelezatan Lumpia Semarang sendiri merupakan paduan dari cita rasa kuliner Tionghoa dan kuliner lokal Semarangan. Lumpia Semarang memadukan bentuk dan nama makanan asal Tiongkok dengan rasa manis, dan gaya orak-arik isi khas Jawa. 


Di bandingkan lumpia di daerah lain, Lumpia Semarang mempunya ciri khas pada isiannya, yaitu rebung. Melimpahnya rebung di Semarang diolah menjadi isian lumpia dipadu dengan aneka rempah, ebi, udang, ayam, dan telur, sehingga membuat Lumpia Semarang bercita rasa khas dan berbeda dengan lumpia lainnya. 


Paduan rebung dengan tekstur yang renyah dan gilingan daging udang dan daging ayam serta telur yang gurih, membuat lumpia menjadi kudapan yang tidak hanya digemari oleh masyarakat Semarang, tapi juga para pendatang dari luar daerah. 



Hampir semua Lumpia Semarang hadir dalam versi halal, kecuali yang memang menghadirkan lumpia yang dimasak dengan lemak babi atau menggunakan isian daging babi cincang. 

 

Di Semarang, ada dua macam lumpia, yaitu lumpia basah dan lumpia goreng. Lumpia goreng digoreng terlebih dahulu sebelum disajikan. Sementara lumpia basah tak perlu digoreng. Keduanya disajikan dengan saus kental kecoklatan—yang bercita rasa gurih dan asam-manis, acar ketimun, dan lokio segar atau daun bawang muda.  


Asal-usul Nama Lumpia

Aji ‘Chen” Bromokusumo dalam buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Indonesia (2013) menyatakan, Lumpia berasal dari kata lún bĩng (baca: lu-en ping). Dalam dialek Hokkian berbunyi lun pia yang artinya kue bulat. Seterusnya beradaptasi dengan lidah lokal jadi berbunyi lumpia sampai sekarang, walaupun di beberapa tempat masih tetap menyebutnya lunpia


Masih menurut Aji ‘Chen’ Bromokusumo, makanan ini di tempat aslinya disebut dengan chūn juăn (baca: ju-en cűen)—bunyi antara vokal ‘i’ dan ‘u’ dengan bibir sedikit mengerucut. Chun berarti musim semi dan juan berarti menggulung. Yang arti harfiahnya diserap apa adanya dalam bahasa Inggris spring roll—seterusnya diakui secara internasional makanan ini disebut dengan spring roll. Dalam dialek Hokkian akan berbunyi jun kin, yang sering ditulis chun kien. Kata chun kien ini muncul di beberapa restoran di banyak kota di Indonesia. 


Sebagaimana namanya, kudapan ini memang memiliki akar dalam seni kuliner Tionghoa. Dalam buku Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (2015) disebutkan, Pia selalu mengacu pada kue atau jajanan, sedang loen atau lun berarti ‘gulung’. Jajanan ini memang berbentuk tergulung dalam crepe tipis. Di Semarang, khususnya di kalangan keturunan Tionghoa, lumpia selalu disebut sebagai lunpia. 


Lumpia terkenal sebagai kudapan khas Semarang dengan isian rebung yang dicincang kasar yang menjadi ciri khasnya. Di Jakarta, rebung sebagai isian lumpia diganti dengan bengkoang karena rebung acapkali mengeluarkan aroma yang—bagi sebagian orang, dirasa kurang sedap. Apalagi bagi yang baru pertama kali mencicipi lumpia khas Semarang, terkadang akan terkaget-kaget dengan sengatan bau rebung yang khas. Namun bagi yang menyukai, di situlah justru letak cita rasa yang menambah kelezatannya.



Sejumlah sumber menyebutkan, Lumpia mulai dijajakan dan dikenal luas oleh masyarakat Semarang saat pelaksanaan pesta olahraga GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1963. 


Lumpia Semarang dan Cinta Dua Dunia

Sebagaimana pelbagai makanan legendaris lainnya, lumpia Semarang memiliki jejak sejarah yang panjang dan cerita yang unik di balik penciptaannya. Dalam buku Hidangan Lezat Semarang (2010) disebutkan, sejarah Lumpia Semarang adalah kisah cinta dua dunia. 


Di akhir abad ke-19, Tjoa Thay Yoe—seorang pedagang dari Negeri Tiongkok, datang ke Semarang dan kemudian menjual makanan berbahan daging babi dan rebung di Pasar Johar. Di sana, ia berjumpa dengan pedagang makanan Jawa berbahan udang dan kentang, bernama Wasih. 


Pepatah Jawa menyatakan ‘witing tresna jalaran saka kulina’ alias tumbuhnya rasa cinta karena kebiasaan (sering bersama). Setelah lama bersama-sama berjualan di Pasar Johar, Tjoa Thay Yoe dan Wasih pun saling jatuh cinta, kemudian menikah. 


Mereka kemudian menciptakan makanan bersama dengan membuang unsur daging babi. Terciptalah Lumpia Semarang yang kita kenal sekarang. Pasangan kekasih ini kemudian dikarunia seorang putri bernama Tjoa Po Nio. Dari anak inilah, hadir lumpia-lumpia terkenal di Semarang:  Lumpia Pemuda (Mbak Lien), Lumpia Gang Lombok, dan Lumpia Mataram. 


Ketiga lumpia populer di Semarang itu menjadi semacam trend setter untuk jenis lumpia Semarang—dengan aksentuasi cita rasa yang berbeda. Jenis lumpia itu dikuti oleh sejumlah bekas pekerja mereka yang turut meramaikan “dunia perlumpiaan” di Kota Semarang. 


Juga muncul merek-merek lumpia lainnya di luar ketiga trend setter Lumpia Semarang tersebut. Mereka adalah orang-orang dengan latar belakang kesukaan terhadap dunia boga, yang lantas berekperimentasi membuat lumpia dengan resep hasil pembelajaran dari lumpia yang sudah beredar. Mereka ikut meramaikan dunia bisnis Lumpia Semarang. 


Pada perkembangannya, Lumpia Semarang mengalami diversifikasi dalam hal kreasi isian atau varian rasa. Bahkan sebuah kedai lunpia di Kota Semarang, yaitu Lunpia Cik Me Me yang berlokasi di Jalan Gajah Mada No. 107 Semarang, mengembangkan lunpia dengan berbagai varian rasa.


Selain varian rasa original yang berisi campuran rebung, telur, dan daging ayam cincang, Lunpia Cik Meme juga menawarkan beberapa varian rasa, yaitu Raja Nusantara yang berisi jamur dan kacang mede; Kajamu yang menggunakan campuran daging kambing jantan muda; lumpia crab dengan isian daging kepiting; lumpia isi ikan kakap; hingga keripik lumpia. 


Lunpia Cik Meme berdiri sejak tahun 2014 dan tercatat menjadi kedai lumpia pertama yang mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemilik Kedai Lunpia Cik Meme bernama Meliani Sugiarto—yang merupakan generasi kelima Lumpia Semarang yang dipelopori oleh Tjoa Thay Joe dan istrinya yang akrab disapa Mbok Wasih. 


Jejak rasa yang panjang menjadikan ikon kuliner Kota Semarang ini ditetapkan sebagai warisan budaya nasional tak benda pada tahun 2014. Sebelumnya, pada tahun 2012, Lumpia atau Lunpia Semarang masuk ke dalam daftar “30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia” yang dicanangkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Maria Elka Pangestu. 


*Badiatul Muchlisin Asti, Citizen Journalist & Founder Jatengnyamleng ID. Buku terbarunya yang akan terbit berjudul Riwayat Kuliner Indonesia. Kunjungi personal blog-nya: www.kangasti.id

(1) Resep Membuat Latopia Khas Tegal

(1) Resep Membuat Latopia Khas Tegal

 

Latopia, oleh-oleh khas Tegal. (Jatengnyamleng ID/Badiatul M. Asti)

Latopia adalah oleh-oleh khas Tegal, Jawa Tengah. Bentuknya mirip bakpia, hanya saja latopia khas Tegal kulitnya lebih tebal dan garing. Boleh dibilang, latopia adalah bakpia versi Tegal. Berikut ini resep membuatnya:

 

Bahan 1:

  • 1 ¼ gelas belimbing tepung terigu serba guna
  • 50 ml minyak sayur
  • 2 sendok makan margarin

 

Bahan 1:

  • 1 ½ gelas belimbing tepungterigu serba guna
  • 50 ml air putih hangat
  • 3 sendok makan susu bubuk
  • 4 sendok makan gula pasir
  • 2 sendok makan margarin

 

Bahan isi:

  • 250 gram kacang hijau
  • 100 ml santan kental
  • Gula pasir sesuai selera
  • Garam

 

Cara membuat kulit:

  • Aduk bahan 1, sisihkan. Lalu giling.
  • Aduk bahan 2 sampai kalis, sisihkan. Lalu giling.
  • Letakan bahan 1 di atas bahan 2 lipat 3, lalu giling, lakukan 3 x.
  • Diamkan 15 menit, ulangi lagi giling dan lipat 3. Giling menjadi ukuran persegi lalu potong-potong menjadi ukuran yang sama. Diamkan 1 jam, tutup dengan serbet.

 

Cara membuat isi:

  • Rebus setengah matang kacang hijau, rendam setengah hari atau semalaman.
  • Kukus kacang hijau sampai empuk, lalu giling sampai halus.
  • Panaskan minyak secukupnya, tuang gilingan kacang hijau, beri gula, santan dan garam, aduk sampai kacang hijau agak mengering.
  • Angkat, dinginkan.

 

Cara membuat latopia:

  • Ambil 1 potong adonan kulit, giling, beri isian, lipat seperti amplop.
  • Susun diatas loyang yang dialas kertas roti.
  • Panggang 10 menit dengan api bawah suhu 175 derajat celcius.
  • Balik Latopia, panggang lagi 10 menit api bawah suhu 175 derajat celcius.
  • Terakhir, panggang api atas bawah suhu 150 derajat celcius selama 5 menit.
  • Angkat, dinginkan. Siap disajikan.

 

Selamat mencoba!

 

Sumber: NCC Jajan Tradisional Indonesia

 

*Konten dibuat oleh Badiatul Muchlisin Asti

Pendiri Jatengnyamleng ID dan Rumah Pustaka BMA

 

(1) Becek, Menu Hajatan yang Jadi Sajian Warung Makan

(1) Becek, Menu Hajatan yang Jadi Sajian Warung Makan

Sayur becek khas Grobogan, hidangan hajatan yang jadi menu di warung makan. (Jatengnyamleng/Badiatul M. Asti)

Becek atau sayur becek adalah sajian berkuah khas Grobogan. Sayur becek adalah sup iga balungan sapi dengan bumbu minimalis yang dipadu dengan daun kedondong, juga dan daun dayakan—yang dulu mudah dijumpai di kawasan pegunungan kendeng. Rasanya segar, gurih, dan asem. Bagi penyuka pedas, bisa ditambah dengan cabai sesuai selera. 

Hidangan Timur Tengah di Indonesia

Hidangan Timur Tengah di Indonesia

Kaver buku
Kaver buku 50 Resep Favorit HIdangan restoran Timur Teengah

 

Selain Tiongkok dan Eropa, kuliner Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh kuliner Timur Tengah. Karena itu, banyak kuliner khas Timur Tengah yang akrab dijumpai di negeri ini, seperti nasi kebuli, nasi mandhi, nasi bukharee, oum ali, roti maryam, hummus, dan lain sebagainya.

 

Kuliner Timur Tengah terkenal lezat dan kaya rempah. Nasi kebuli misalnya. Menurut Gagas Ulung dan Deerona dalam Jejak Kuliner Arab di Pulau Jawa (2014), awalnya jenis hidangan ini masuk ke Indonesia karena dibawa oleh orang Kerala, India, yang menjadi tukang masak di kapal-kapal pedagang dari Gujarat.

 

Pada abad ke-18, para imigran dari Hadramaut di Yaman Selatan yang sebelumnya menetap di Gujarat, masuk ke Pulau Jawa untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Mereka pun memperkenalkan sajian nasi kebuli yang sudah diperkaya dengan bumbu India.

 

Cita rasa Nasi Kebuli yang dikembangkan orang Hadrami—sebutan untuk orang dari Hadramaut—berubah lagi ketika bersentuhan dengan lidah orang Indonesia. Lidah keturunan Hadrami yang kemudian melakukan kawin campur dengan perempuan lokal, lebih dekat dengan cita rasa kuliner Indonesia. 

 

Hal ini menunjukkan bahwa kuliner Timur Tengah yang ada di Indonesia sudah berakulturasi dengan tradisi kuliner Indonesia. Hidangan Timur Tengah sendiri tergolong lengkap. Mulai dari aneka appertizer seperti salad, menu utama (main course), hingga dessert  yang bercita rasa manis seperti Oum Ali. 

 

Buku berjudul 50 Resep Favorit Hidangan Restoran Timur Tengah ala Chef Salimoz ini berisi resep-resep hidangan Timur Tengah favorit yang umumnya telah dikenal oleh masyarakat Indonesia. 50 resep itu terbagi dalam empat bagian, meliputi: aneka lauk (15 resep), aneka nasi dan roti (12 resep), aneka salad dan saus (6 resep), dan aneka snack dan minuman (17 resep). 

 

Salah satu masakan kategori lauk yang cukup populer di Indonesia adalah maraq kambing. Hidangan berkuah dan berbahan kambing ini rasanya segar dan sedikit ada rasa asam karena buah tomat. Aroma rempahnya tidak saja mampu melibas bau prengus kambing, namun juga harum menggugah selera. Selain maraq kambing, ada juga saneh kambing, masakan Timur Tengah yang juga diadaptasi oleh dapur Betawi. Saneh kambing sering disebut gulai merah kambing. 

 

Selain nasi kebuli, ada juga nasi kabsah, untuk kategori nasi dan roti. Nasi kabsah adalah rumpun hidangan nasi yang berasal dari Timur Tengah—tepatnya Arab Saudi yang dianggap sebagai hidangan nasional mereka. Beda antara nabi kebuli dan nasi mandhi adalah nasi kebuli dibuat dengan cara menanak nasi dengan kaldu dan susu kambing bersamaan. Selain itu, dicampurkan juga daging kambing yang ditumis, kemudian diberikan minyak samin untuk memberi aroma yang khas, dan dimasak dengan bumbu halus yang terdiri dari bawang putih, bawang merah, lada hitam, cengkih, ketumbar, jintan, kapulaga, kayu manis, pala, dan minyak samin. Nasi kebuli biasa disajikan dengan asinan nanas dan sambal goreng ati.

 

Adapun nasi kabsah, dari penampakannya hampir mirip dengan nasi goreng kecap yang ada di Indonesia. Namun nasi kabsah lebih kaya rempah. Salah satu ciri khas bumbunya menggunakan tomat dan sedikit cabai, sehingga cita rasanya asam gurih, namun rasa pedasnya tidak dominan. Hidangan nasi ini dipadukan dengan lauk kambing atau ayam yang dimasak dengan cara direbus, dengan bumbu tomat dan rempah Timur Tengah, lalu ditiriskan. Di Indonesia lebih sering menyebutnya nasi gulai kambing, karena dicampur dengan bumbu seperti gulai.

 


Selain nasi kebuli dan nasi kabsah, ada juga nasi bukharee, roti jala, dan roti maryam atau roti canai yang cukup populer di Indonesia. Adapun snack, ada oum ali yang bercita rasa manis. Oum ali adalah menu rumahan khas Timur Tengah seperti puding yang ditempatkan dalam sebuah mangkuk kecil dalam penyajiannya. Sering disebut juga sebagai “makanan pencuci mulut dari Mesir”.

 

Bahan utama oum ali adalah roti dan susu. Sebagai pelengkap, biasanya hidangan ini juga diberi kacang-kacangan yang disangrai dan ditumbuk kasar atau berbagai bahan makanan bercita rasa krispi dan enak digigit.

 

Ada cerita menarik di balik terciptanya resep oum ali. Sebagaimana diceritakan oleh Gagas Ulung dan Deerona, konon nama oum ali diambil dari nama istri pertama Sultan Ezz El Din Aybek. Setelah Sultan wafat, terjadi perdebatan di antara Oum Ali dengan istri kedua Sultan mengenai anak siapa yang berhak melanjutkan tampuk kekuasaan. Setelah istri kedua meninggal karena kecelakaan, Oum Ali merayakannya dengan membagikan puding ke para rakyat. Itulah awalnya puding roti tersebut diberi nama oum ali.

 

Selain oum ali, ada beberapa snack favorit lainnya seperti: martabak mesir, laqaimat, chicken shawarma, kue ka’ak, falafel, dan lainnya. Untuk minuman, ada adeni tea, gahwa janzabil, dan sahlab—minuman susu hangat khas Turki. 

 

Buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama ini ditulis oleh Chef Salimoz (Salim Mohammad Syamlan), seorang chef yang telah memiliki pengalaman berkarya di dunia boga, baik sebagai owner katering, restoran, dan aktif cooking demo melalui channel YouTube-nya. Chef Salimoz berdarah Arab dan selama ini telah teruji piawai membuat aneka masakan Timur Tengah. Telah banyak public figure dan selebritas yang telah membuktikan kelezatan masakan Chef Salimoz.  

 

Buku ini sangat menarik dan pas untuk memperkaya wawasan tentang kuliner Timur Tengah yang ada di Indonesia—yang di antaranya nampak masih cukup asing di telinga. Karena umumnya masih berkembang di lingkup keluarga keturunan Arab yang menyebar di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Bogor, Pemalang, Pekalongan dan Surabaya. 

 

Data buku:
Judul: 50 Resep Favorit Hidangan Restoran Timur Tengah ala Chef Salimoz
Penulis: Salim Mohammad Syamlan
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke-1: 2020
Tebal: 118 hlm 
ISBN: 978-602-06-4537-7

 

*Tulisan ini dimuat di koran Jawa Pos Radar Madura edisi Kamis, 9 September 2021.

Cerita-cerita Nostalgia dari Dapur Keluarga

Cerita-cerita Nostalgia dari Dapur Keluarga

Kaver buku Hidaangan Nostalgia  Keluarga


Perkembangan zaman yang pesat, mengubah pola perilaku manusia dalam hal konsumsi pangan. Dulu, pawon atau dapur, tidak hanya sebagai pelengkap arsitektur sebuah rumah. Namun benar-benar dijadikan sebagai ruang vital mengolah aneka masakan untuk dihidangkan guna memenuhi kebutuhan pangan segenap anggota keluarga.

 

Bahan pangan yang diolah pun seringkali berasal dari bahan pangan yang diperoleh atau ditanam di pekarangan rumah, atau beli di pasar, namun masih benar-benar bahan mentah yang musti diolah. Sehingga hidangan yang dihasilkan tidak hanya sedap dan lezat, tapi juga sehat. 

 

Berbeda dengan tren saat ini. Dapur kadang hanya menjadi “ornamen” pelengkap rumah. Jarang ada aktivitas di dalamnya, kecuali mengolah makanan instan yang hanya sedap di lidah tapi buruk untuk kesehatan. 

 

Apalagi pesatnya laju perkembangan bisnis kuliner saat ini, yang memesan makanan tinggal klik saja melalui delivery order di smartphone,  sehingga cenderung membuat orang malas berjibaku di dapur. 

 

Bagi sebagian orang, kondisi itu seringkali memantik kenangan di masa lalu saat dapur masih menjadi “primadona” bagi setiap keluarga. Mereka terkenang menu-menu yang terhidang di meja makan hasil racikan “chef” didikan alam bernama ibu.

 

Menu-menu yang terhidang di meja makan keluarga ketika itu tidak hanya membentuk cita rasa “lidah” atau selera seseorang terhadap makanan, tapi juga menjadi “sejarah” yang selalu terkenang sampai masa yang jauh setelahnya.

 

Dalam spektrum itulah, saya memandang kehadiran buku Hidangan Nostalgia Keluarga karya Diah Nimpuno ini sebagai bagian dari upaya—mewakili generasi yang masih menjumpai pawon sebagai bagian vital rumah tangga—mengenang atau bernostalgia dengan menu-menu keluarga di masa lalu.

 

Diah Nimpuno (selanjutnya disebut Diah saja), penulis buku ini, lahir tahun 1967 di Malang. Pada tahun-tahun itu, dapur memang masih berfungsi sempurna. Setiap hari dapur selalu ngebul, tanda aktivitas memasak sedang berlangsung. Ketika itu, rata-rata masyarakat masih memasak dengan tungku yang terbuat dari tanah liat dan kayu bakar. Beda dengan sekarang yang mengandalkan peralatan dapur modern seperti rice cooker.

 

Beruntung, Diah tidak hanya lahir dari keluarga yang dapurnya ngebul tidak sekedar demi urusan perut, namun memang menyukai dunia masak dan kegiatan yang berhubungan dengan dunia kuliner. Wajar, jika Diah kemudian menjadi sangat menyukai dunia memasak hingga dewasa dan berumah tangga. 

 

Selain buku ini, sebelumnya Diah telah menulis beberapa buku masakan, di antaranya berjudul Buku Lengkap Homemade Pastry dan Ayo Membuat Masakan & Kue dari Bahan Halal. Keduanya juga diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

 

Buku Hidangan Nostalgia Keluarga sendiri awalnya merupakan resep-resep yang dia unggah di media sosial. Gagasan buku ini berasal dari banyaknya tanggapan dari warganet yang mengatakan bahwa mereka terkenang akan masa kecil—setelah membaca resep-resep yang diunggah Diah.

 

Pelbagai resep masakan yang dikenangnya sebagai “masakan nostalgia” itu kemudian dikumpulkan dan jadilah buku ini—buku kumpulan resep masakan yang menjadi kegemaran keluarga Diah sejak dahulu. Pada setiap resep, Diah menceritakan kenangan di balik hidangan tersebut.

 

Saya kira banyak yang terwakili dengan nostalgia yang dihadirkan oleh Diah ini—meski dalam nuansa yang berbeda. Misalnya dalam soal masakan tertentu. Meski sama nama masakannya, tapi boleh jadi dalam setiap keluarga memiliki kecenderungan taste dan “jurus masak” yang khas yang menjadi “rahasia dapur” masing-masing keluarga dalam upaya menghadirkan hidangan yang lezat. Bahkan acapkali setiap keluarga memiliki resep masakan yang spesifik “milik” mereka.

 

Seperti keluarga Diah yang menggemari masakan yang disebutnya sebagai Ayam Tumis, padahal sebenarnya mereka tidak mengetahui secara pasti apa nama masakan tersebut. Tapi karena memasaknya dengan cara ditumis, maka untuk mudahnya mereka menyebutnya “Ayam Tumis”. Dan uniknya, untuk ayam tumis ini, ayah Diah yang paling sering memasaknya. 

 

Soal jurus masak, ada sebuah hidangan di keluarganya yang disebut Diah dengan nama “Bistik Sapi Cara Kuno”. Dinamai demikian sebab cara membuat bistik ini tergolong unik, yaitu daging harus ditusuk-tusuk menggunakan garpu terlebih dahulu sampai diperkirakan daging akan menjadi empuk ketika matang. Sebuah metode pengempukan daging yang sangat jarang dijumpai pada metode memasak modern, terutama untuk memasak steak/bistik. 

 

Di buku ini banyak dijumpai resep-resep masakan khas Jawa Timur yang sangat populer seperti  Soto Ayam Lamongan, Soto Sulung,  Pecel Madiun, Nasi Rawon, Ayam Cocoh, dan Rujak Cingur. Itu karena Diah memang lahir dan besar di Jawa Timur, tepatnya di Malang. Namun menjadi lebih istimewa karena di setiap resep mengandung cerita nostalgia dan “taste” tersendiri khas keluarga Diah.

 

Diah juga menghadirkan beberapa menu nostalgia yang spesial karena hanya dihidangkan oleh ibunya di hari-hari istimewa saja. Di antaranya adalah Nasi Bakmoi, sebuah kuliner yang diadaptasi dari dapur Tiongkok. Diah ingat betul, Nasi Bakmoi ini disajikan pada waktu ulang tahunnya yang ke-4. 

 

Buku ini mengajak kita bernostalgia tentang menu-menu yang terhidang di meja keluarga kita puluhan tahun lalu. Kenangan manis yang boleh jadi tak akan terulang. Selamat bernostalgia! 

 

Data buku:
Judul: Hidangan Nostalgia Keluarga, Cerita di Balik Setiap Resep
Penulis: Diah Nimpuno
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke-1: 2020
Tebal: 126 hlm 
ISBN: 978-602-06-4029-7 

 

*Tulisan ini dimuat di koran Jawa Pos Radar Madura edisi Rabu, 25 Agustus 2021 dengan judul Cerita-cerita Nostalgia dari Dapur.

7 Top Kuliner Grobogan Terlezat versi Jatengnyamleng ID

7 Top Kuliner Grobogan Terlezat versi Jatengnyamleng ID

Pusat Kuliner Puwodadi


Nglencer ke Grobogan, berburu kuliner lezat, di manakah gerangan? Saat ini wisata kuliner memang tengah menjadi tren. Saat berkunjung ke sebuah daerah, dengan pelbagai keperluan, maka berburu kuliner khas atau kuliner terlezat seolah menjadi tradisi. Serasa belum lengkap berkunjung ke sebuah daerah tanpa mencicipi kuliner terlezatnya.

Lezatnya Gudeg Koyor dan Opor Ayam Mbak Tum Pusat Kuliner Purwodadi

Lezatnya Gudeg Koyor dan Opor Ayam Mbak Tum Pusat Kuliner Purwodadi

Ibu Yaumi sedang melayani pembelinya di warung gudeg koyor dan opor ayam Pusat Kuliner Purwodadi. (Badiatul M. Asti)
Pusat Kuliner Purwodadi adalah pusat wisata kuliner yang berada di Kota Purwodadi Grobogan yang diresmikan oleh Bupati Grobogan Hj. Sri Sumarni pada 29 November 2018. Di pusat kuliner ini banyak ditemui aneka kuliner yang bisa dipilih sebagai jujugan wisata kuliner Grobogan. Di Pusat Kuliner Purwodadi ada beberapa warung favorit saya, salah satunya adalah WM. Mbak Tum yang spesial menyajikan menu Gudeg Koyor dan Opor Ayam. 

 

Babi dalam Realitas Kuliner Indonesia

Babi dalam Realitas Kuliner Indonesia

Sebuah relief yang menunjukkan babi menjadi hewan piaraan dan sumber protein masyarakat ketika itu. Foto istimewa.

Potongan video Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mempromosikan Bipang Ambawang khas Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu, viral di media sosial. Gegara video itu, kuliner berbahan babi tersebut menjadi populer karena menjadi bahan perbincangan, juga perdebatan—karena Bipang Ambawang disebut dalam momentum umat Islam Indonesia sedang menyambut lebaran Idulfitri. 

 

Para Pelestari Gandos dari Tasikmalaya

Para Pelestari Gandos dari Tasikmalaya

Bila di pagi atau sore hari saya melewati belakang pasar Godong (Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah), maka saya biasa menjumpai seorang bapak yang sedang menjajakan gandos. Namanya Pak Farhan (46). Warga Tasikmalaya ini sudah boro atau merantau ke Godong untuk berjualan gandos sejak sepuluh tahun lalu atau sekira tahun 2010.

Pak Farhan, penjual gandos dari Tasikmalaya di Godong
Pagi-pagi ia mangkal di belakang pasar Godong untuk melayani para pelanggan gandosnya. Saat hari mulai siang, sekitar jam 8 atau jam 9, biasanya gandosnya sudah habis. Pak Farhan pun pulang ke kontrakannya untuk istirahat dan menyiapkan bahan untuk berjualan gandos di sore harinya.