Jejak Eropa dalam Kuliner Indonesia
Boleh dibilang, saat ini, kuliner menjadi (salah satu) daya pikat wisata. Beragam destinasi wisata kuliner menjadi incaran para wisatawan. Buku-buku yang mengulas tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata kuliner juga bermunculan. Mendiang Bondan Winarno, misalnya, menerbitkan buku 100 Makanan Tradisional Indonesia Mak Nyus, 100 Mak Nyus Jakarta, 100 Mak Nyus Bali, dan 100 Mak Nyus Joglo Semar (Jogja-Solo-Semarang).
Di
samping kemerebakan wisata kuliner, upaya menengok masa lalu berkait dengan
kuliner juga cukup semarak. Hal itu ditandai oleh penerbitan buku-buku yang
mengulas tentang kuliner Indonesia dari pendekatan sejarah. Pakar sejarah
kuliner Indonesia, Fadly Rahman misalnya, menerbitkan dua buku yang berjudul Rijsttafel,
Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 dan Jejak Rasa
Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia.
Wahjudi
Pantja Sunjata, Sumarno, dan Titi Mumfangati menulis buku berjudul Kuliner
Jawa dalam Serat Centhini yang mengungkap berbagai macam kuliner yang
terdapat dalam Serat Centhini, yang sebagian besar masih eksis hingga sekarang.
Yang teranyar, ada buku berjudul Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon
karya Riadi Darwis, dosen Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) NHI Bandung, yang mengungkap
secara mendalam khazanah kuliner keraton kesultanan di Cirebon yang terdapat
dalam berbagai manuskrip kuno.
Kehadiran
buku berjudul Kuliner Hindia Belanda 1901-1942, Menu-menu Populer dari
Budaya Eropa ini kiranya juga membawa misi serupa, yakni sebagai upaya
menggali kuliner Indonesia dari pendekatan sejarah. Di dalam buku ini, Pipit
Anggraeni sebagai penulis, secara menarik menyajikan potret kuliner Indonesia
pada tahun 1901-1942, terutama berkaitan dengan hegemoni dan pengaruh dapur
Eropa (terutama Belanda) terhadap menu-menu makanan Indonesia.
Sepenuhnya
disadari, kedatangan berbagai bangsa asing ke Tanah Air telah membawa pengaruh
terhadap perkembangan budaya Indonesia, termasuk dalam hal kuliner. Berbagai
kuliner Indonesia yang masih bertahan hingga kini, beberapa di antaranya
merupakan hasil akulturasi (dan asimilasi) dengan budaya bangsa asing yang
pernah masuk ke Indonesia.
Salah
satu contoh nyata adalah budaya makan yang terdapat dalam rijsttafel.
Rijsttafel merupakan hasil akulturasi dalam bentuk budaya makan yang berkembang
pada masa kolonial. Istilah rijsttafel kali pertama digunakan orang Belanda
untuk menunjukkan kebiasaan makan nasi dari generasi ke generasi yang akhirnya
menjadi budaya tersendiri di ruang lingkup kehidupan orang-orang Belanda.
Rijst berarti nasi, sedangkan tafel selain bermakna meja juga
bermakna kias untuk hidangan. Istilah rijsttafel mulai digunakan dalam keluarga
Belanda kurang lebih sekitar tahun 1870-an. Ide rijsttafel berawal dari
seringnya orang Belanda melihat orang bumiputera yang bersantap bersama
mengelilingi nasi dan hidangan lengkap dengan menggunakan tangan kosong. Aroma
makanan khas Indonesia yang menggoda selera menjadikan orang Belanda mempunyai
gagasan untuk melakukan hal serupa. Mereka makan dengan berbagai menu khas Jawa
yang diperkaya bumbu khas nenek moyang bangsa Belanda.
Sangat Eksklusif
Dalam
perkembangan, rijsttafel menjadi budaya yang sangat eksklusif. Orang-orang
Belanda ingin membedakan diri dari kebiasaan makan orang bumiputera. Meskipun
sebelumnya mereka hidup dalam kebiasaan makan bumiputera, penekanan betapa
tinggi kebanggaan status sosial dalam rijsttafel tampak sangat jelas di
tengah-tengah kelas sosial lain. Unsur-unsur tambahan sengaja diciptakan dengan
memadukan penggunaan alat-alat makan seperti sendok, garpu, pisau, piring, ditambah
meja dan kursi.
Menu-menu
khas Belanda kemudian juga dihidangkan dalam sajian rijsttafel, antara lain
aneka sop sayur, lidah sapi, kroket kentang, asparagus rebus, lobster dengan
mayones, salad, puding, buah-buahan, roti, aneka olahan jamur, acar, daging
sapi, daging unggas, ayam, kentang, biskuit dengan keju, anggur merah, kopi,
teh, dan es ceri.
Menu-menu
khas Belanda yang ada dalam perjamuan ala rijsttafel, yang telah diadopsi dan
dimodifikasi tentu saja, hingga saat ini banyak yang masih eksis dan menjadi
kekayaan kuliner tradisional Indonesia sebagai hasil akulturasi atau silang
budaya Indonesia-Belanda.
Indonesian Restaurant Indrapura adalah salah satu contoh. Restoran yang terletak di Rembrandplein 40-42 1017 CV Amsterdam, Belanda, itu merupakan salah satu restoran Indonesia yang didirikan di Belanda dengan menawarkan aneka makanan tradisional Indonesia. Restoran milik Peter Alexander Ten Cate bersama sang istri, Dewi Paramawati, itu menerapkan pola saji rijsttafel di Hindia Belanda dengan tetap mempertahankan keautentikan menu dan lauknya.
Hidangan
menu yang disajikan dalam restoran itu salah satunya adalah nasi rames.
Hidangan nasi rames itu terdiri atas nasi putih dan beberapa kombinasi
lauk-pauk yang meliputi daging dan sayuran. Dalam buku menu tertulis bahwa nasi
rames merupakan hidangan nasi putih yang disajikan bersama dengan kentang dan
sambal goreng tempe, sambal goreng telur dan ayam, serundeng, sayur lodeh, acar
mentimun, semur, opor daging, sate babi, dan kerupuk melinjo.
Hidangan yang disajikan dalam satu meja itu tidak jauh berbeda dari hidangan rijsttafel di Hindia Belanda pada tahun 1900-an. Masyarakat kini lebih mengenalnya sebagai masakan Indonesian.
Buku
setebal 114 halaman ini mengurai fakta-fakta penting dan menarik dalam konteks
sejarah kuliner di Indonesia pada kurun waktu 1901-1942. Dengan membaca buku
hasil konversi dari skripsi karya Pipit Anggraeni yang semula berjudul “Pengaruh
Budaya Eropa Terhadap Kuliner Indonesia, Kajian Menu Populer Indonesia
(1901-1942)” ini, pembaca akan memperoleh gambaran tentang potret kuliner
Indonesia pada kurun waktu 1901-1942 ditinjau dari menu-menu populer yang berkembang
pada periode itu.
Data
buku:
Judul: Kuliner Hindia Belanda 1901-1942
Penulis: Pipit Anggraeni
Penerbit: Beranda (Kelompok Intrans Publishing)
Cetakan
ke-1: September 2019
Tebal: (xii) + 114 hlm
ISBN: 978-602-53281-6-9
*Tulisan ini dimuat di koran Suara Merdeka edisi Minggu, 1 Maret 2020
*Tulisan ini dimuat di koran Suara Merdeka edisi Minggu, 1 Maret 2020
Get notifications from this blog
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.