Kuliner Semarangan Tak Hanya dari Semarang?
Sebagai destinasi wisata kuliner, Semarang boleh jadi masih kalah populer oleh kota-kota lain seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, dan Surabaya, bahkan Solo. Namun, bila ditelisik, kota yang pernah dijuluki Venesia dari Timur oleh orang-orang Belanda karena keindahan geologinya itu sesungguhnya sangat kaya khazanah kuliner.
Belum banyak buku yang mengupas kuliner Semarang
secara khusus dan mendalam. Karena itu, ketika terbit buku tebal yang
mengeksplorasi kuliner di ibu kota Jawa Tengah itu, ada ekspektasi tinggi bahwa
buku tersebut akan secara mendalam menghadirkan khasanah kuliner Semarang dari
banyak sisi. Baik sejarah, filosofi, keanekaragaman, maupun kekhasannya.
Namun, ternyata ekspektasi itu meleset. Buku setebal
464 halaman ini tak terlalu dalam mendedah dan menyigi aneka kuliner Semarang
yang sejatinya sangat kaya dan kompleks. Padahal, saat membaca judul utama buku
ini, Kuliner Semarangan, asosiasi kita akan membayangkan kupasan
puspawarna kuliner khas dari Semarang saja. Ternyata tidak demikian.
Pada pendahuluan, penulis buku ini menyebutkan, daerah
kuliner Semarangan meliputi Provinsi Jawa Tengah yang dekat dengan pesisir
utara Pulau Jawa di sebelah timur. Misalnya daerah Batang, Kendal, Semarang,
Demak, Kudus, Jepara, Pati, Rembang, Lasem, Blora, Grobogan, dan Purwodadi
(halaman 3).
Perluasan makna Semarangan seperti itu sejauh ini
tidak dikenal. Istilah Semarangan selama ini ya dipakai untuk menunjuk hal-hal
yang terkait dengan Semarang dan wong Semarang. Antara lain, dialek, perilaku,
adat istiadat, seni, dan budaya.
Budayawan Semarang Djawahir Muhammad dalam bukunya,
Semarang Lintasan Sejarah dan Budaya (2016), saat membahas tradisi lokal Semarangan
juga mengaitkannya dengan tradisi dan budaya masyarakat Semarang. Budaya lokal
yang dimaksudkan adalah perilaku sehari-hari wong Semarang yang berbasis pada
nilai-nilai tradisi lokal (local genius).
Mengaitkan istilah Semarangan ke ranah geografis yang
lebih luas, yaitu ke budaya masyarakat di luar Semarang seperti yang dibawa
buku ini, tentu adalah sesuatu yang baru dan (boleh jadi) ijtihad dari para
penulisnya. Bila landasannya adalah sejarah, mungkin yang lebih tepat adalah
dalam lingkup karesidenan. Yakni, pembagian wilayah pada zaman Hindia Belanda
yang secara administratif masuk lingkup Karesidenan Semarang. Meliputi Kota
Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak,
dan Kabupaten Grobogan.
Meski secara historis daerah-daerah itu terkait, toh
pada perkembangannya, budaya Semarangan menunjukkan kekhasannya sendiri yang
berbeda dengan budaya masyarakat di daerah luar Semarang. Termasuk dalam hal
kuliner, Semarang juga memiliki nuansa, cita rasa, dan kekhasan tersendiri yang
melimpah, yang sebenarnya sangat bisa dieksplorasi dan didokumentasikan dalam
sebuah buku tebal seperti buku ini.
Ragam kuliner Semarang dan daerah sekitarnya hanya
dijelaskan secara sekilas. Lebih menyerupai direktori, di mana sebuah entri kuliner
diberi penjelasan atau deskripsi seperlunya, lalu dilengkapi dengan foto (tidak
semua) dan resep. Sehingga pembaca tidak mendapatkan kupasan tajam yang
mendalam tentang entri kuliner yang sedang dibahas.
Sepertinya buku ini disusun dengan referensi yang
kurang kaya dan riset lapangan yang minim sehingga kurang mendalam dalam
mengeksplorasi kuliner Semarangan. Terutama dari sisi sejarah dan kisah para
pelakunya yang telah berhasil menjaga dan mewariskan usaha kuliner pusaka dari
generasi ke generasi.
Andai saja buku ini fokus mengupas kuliner Semarangan
dalam arti kuliner Semarang saja, akan banyak kupasan menarik yang dapat
dibahas secara mendalam. Soal soto, misalnya. Soto legendaris khas Semarang
bukan hanya soto Bangkong, tapi juga ada soto bokoran, soto selan, dan soto Pak
Man.
Data
buku:
Judul: Kuliner Semarangan
Penulis: Murdijati
Gardjito, Nurullia Nur Utami, dan Chairunisa Chayatinufus
Penerbit: Andi, Yogyakarta
Cetakan
ke-1: 2019
Tebal: xvi + 464
hlm
ISBN: 978-979-29-9910-5
*Tulisan ini dimuat di koran Jawa Pos edisi Minggu, 8 Maret 2020
*Tulisan ini dimuat di koran Jawa Pos edisi Minggu, 8 Maret 2020
Get notifications from this blog
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.