Potret Dapur Peranakan Tionghoa di Jawa Timur Abad ke-20
Kedatangan orang-orang Tiongkok ke Indonesia sejak abad ke-13 telah memperkaya khazanah kuliner Nusantara. Pergumulan mereka dengan kaum pribumi melahirkan aneka hidangan khas dan tidak ditemukan di negara lain, selain di Indonesia.
Buku
berjudul Budaya dan Kuliner, Memoar tentang Dapur China Peranakan Jawa Timur
ini berisi pelbagai resep masakan yang biasa dimasak di dapur Tionghoa di
Malang, Jawa Timur, pada abad ke-20. Buku ini dilengkapi dengan sejarah dan
kisah di balik resep-resep tersebut.
Resep-resep masakan yang tersaji diangkat dari sebuah manuskrip atau buku catatan resep yang dikumpulkan oleh Go Pheek Too (Nyonya Go) atau yang biasa dipanggil Ietje. Buku itu berisi 80 resep masakan yang dia kumpulkan dalam kurun beberapa dasawarsa.
Himpunan
resep dalam buku masakan Ietje merefleksikan pengalaman sebuah keluarga
Tionghoa yang hidup di Malang selama enam generasi. Jalan Klenteng
(Klentengstraat) adalah jalan utama dua arah di wilayah tinggal penduduk
Tionghoa di Malang. Nama itu diberikan karena ada Kelenteng Eng An Kong yang
dibangun pada 1825 di jalan tersebut.
Rumah
keluarga di Jalan Klenteng dibangun kakek Ietje menjelang akhir abad ke-19
dalam gaya yang dikenal sebagai sebutan indische empire. Yaitu, sebuah
gaya neoklasik kolonial yang mempunyai ciri khas beranda yang luas dengan
tiang-tiang berwarna merah (halaman 55).
Koo
Siu Ling, salah satu anak Ietje, yang ikut menulis dan mengeditori buku ini,
pada kata pengantarnya menyatakan, ”Buku ini berisi catatan resep yang ditulis
tangan oleh ibu saya, para tante, dan anggota keluarga saya lainnya. Semua
resep telah diuji coba di dapur tua yang dibangun pada sekitar tahun 1900-an di
rumah leluhur saya.”
Masih
kata Koo Siu Ling di halaman 25, ”Kerap kali makanan asing disesuaikan dengan
lidah peranakan. Sebagai contoh, pasta dibuat menjadi lebih pedas dengan cara
dibubuhi cabai. Bahkan, ketika sanak saudara tinggal berpencar di berbagai
penjuru dunia, mereka membawa selera dan cara masak peranakan bersama mereka.”
Ietje
yang menjadi lakon dalam buku ini lahir pada 1911 dalam sebuah keluarga
Tionghoa yang menetap di Jawa sejak awal abad ke-19. Setelah perkawinannya pada
1934, Ietje meninggalkan Malang untuk bergabung dengan suaminya di Belanda yang
sedang menempuh studi ilmu ekonomi.
Setelah
1936, dia dan suami tinggal di Malang, Batavia (sekarang Jakarta), dan beberapa
tempat lain. Suaminya seorang ahli ekonomi yang bekerja di perusahaan dagang.
Dari awal 1960-an, pasangan itu tinggal di banyak tempat di dunia.
Di
tahun-tahun kehidupan selanjutnya, Ietje menetap di Belanda. Dia tetap
berhubungan dengan keluarganya. Banyak di antara mereka yang tetap tinggal di
Malang. Ietje kali terakhir berkunjung ke Malang pada 1999, saat akhir zaman
Orde Baru.
Sejumlah
catatan awal dalam buku resep masakan yang kemudian diangkat dalam buku ini
berasal dari tahun 1930-an dan selalu dibawa Ietje hingga wafatnya di Belanda
pada 2000. Buku catatan resep itu ditulis dengan tangan secara teliti dan
cermat, pada dasarnya dalam bahasa Belanda, meski kadang-kadang dalam bahasa
pasar campuran Tionghoa dan Jawa-Indonesia tipikal adaptasi kaum peranakan. Ada
pula kata-kata pinjaman, termasuk dalam hal bumbu dan hidangan yang berasal
dari bahasa Hokkien.
Penulisan
ulang manuskrip tersebut, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
diterbitkan ke dalam buku merupakan langkah yang tepat. Mengingat, seiring
berjalannya waktu, generasi yang mengerti bahasa campuran sebagaimana yang
tertulis dalam manuskrip akan menghilang. Dengan membukukannya, resep-resep itu
jelas terdokumentasi dengan baik dan akan terus abadi serta selalu dikenang
generasi selanjutnya.
Dengan
membaca buku resep masakan ini, menjadi jelas bahwa peranakan telah menyerap
dan mengadopsi masakan Belanda dan Jawa, di samping masakan Tionghoa. Buku ini
mengetengahkan resep-resep klasik masakan Jawa seperti soto ayam, sate, dan
rawon.
Juga
menghadirkan resep tradisi Belanda seperti galantine, roti daging dengan saus,
sup buntut, bahkan kue columbine yang sekarang di Belanda, di tempat asalnya,
malah sudah dilupakan. Ini seperti sebuah endapan arkeologi dari resep yang
lama terkubur.
Buku
masakan ini menghadirkan sebuah masa lampau yang hilang, tetapi setidaknya
sebagian didapatkan kembali melalui resep-resep masakan dan juga di dalam
keteguhan peranakan beserta budayanya. Apalagi, buku ini juga diperkaya dengan
banyak sekali foto tempo dulu yang memantik memorabilia.
Data
buku:
Judul: Budaya dan Kuliner, Memoar Tentang Dapur China Paranakan Jawa Timur
Penulis: Paul Freedman dan Koo
Siu Ling
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan
ke-1: September 2019
Tebal: 336 halaman
ISBN: 978-602-03-8582-2
*Tulisan ini dimuat di koran Jawa Pos edisi Minggu, 24 November 2019 dengan judul "Endapan Arkeologi Berbentuk Puluhan Resep".
*Tulisan ini dimuat di koran Jawa Pos edisi Minggu, 24 November 2019 dengan judul "Endapan Arkeologi Berbentuk Puluhan Resep".
Get notifications from this blog
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.