Kolak, Kudapan Khas Ramadan yang Sarat Filosofi
![]() |
Kolak Pisang dan Ketela |
Pisang
dan ubi jalar adalah varian bahan paling populer yang biasa dibuat kolak. Bahan
lainnya yang biasa dibuat kolak adalah waluh, ketela, mata nangka, dan
kolang-kaling. Saat ini, varian kolak lebih variatif lagi, misalnya yang
populer adalah kolak durian.
Ternyata,
kolak yang biasa hadir di bulan Ramadan itu memiliki sejarah sekaligus di
dalamnya mengandung makna dan pesan filosofis yang dalam. Beberapa sumber
menyebutkan, kolak dikaitkan dengan strategi penyebaran Islam di Jawa.
Masyarakat Jawa yang kala itu belum mengenal Islam, dikenalkan Islam secara
implisit tersamar pada filosofi yang disematkan pada sebuah menu makanan.
Kolak
konon berasal dari Bahasa Arab kul laka artinya "makanlah, untukmu". Ada juga yang
menyebutkan, kolak berasal dari khaliq yang berarti pencipta,
pencipta alam semesta yang menunjuk kepada Allah Swt. Dari asal-usul
penamaan ini, dinamakan kolak karena bertujuan agar bisa menjadi pengingat
untuk selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Kolak awalnya hanya disajikan pada saat bulan Ruwah atau Sya'ban saja. Kemudian kudapan bercita rasa manis itu berlanjut disajikan hingga bulan Ramadan. Hingga saat ini, kolak menjadi menu takjil favorit di bulan Ramadan.
Pesan
filosofis kolak tidak hanya pada asal-usul penamaannya saja, melainkan juga
pada bahan-bahannya. Santan adalah elemen yang selalu ada dalam kolak, apapun
bahannya. Santan, dalam bahasa Jawa disebut santen. Dalam filosofi Jawa
dimaknai sebagai pangapunten alias permohonan maaf.
Kolak pun menjadi media pengingat agar manusia senantiasa meminta maaf atas
kesalahannya.
Bahan
yang paling umum dijadikan kolak adalah pisang, utamanya pisang kepok. Pisang
kepok ini konon merujuk pada kata kapok, yang dalam bahasa
Jawa berarti jera. Sehingga pesan filosofis dalam kolak pisang adalah sebagai
pengingat agar manusia jera berbuat dosa dan segera bertobat kepada Allah
Swt.
Isian lainnya yang populer adalah ubi jalar. Dalam bahasa Jawa disebut telo pendem. Filosofinya adalah agar manusia mengubur kesalahannya dalam-dalam. Ada juga yang menghubungkan dengan kematian. Sehingga kolak menjadi pengingat bahwa suatu saat manusia pasti mati dan kemudian dikubur (dipendem).
Kolak dari Timur Tengah?
Meski
sangat populer di Indonesia, banyak pihak yang menduga kolak bukan karya
kuliner asli Indonesia. Sejumlah pihak menduga, kolak berasal dari Timur
Tengah. Di antaranya, pakar kuliner William Wongso sebagaimana yang dikutip Republika.co.id
dalam artikel “Kolak, Si Manis Nan Legendaris” (Jumat 19 Jun 2015) menduga
kudapan legit ini berasal dari Timur Tengah. Karena masyarakat Timur Tengah
suka makanan manis-manis, sehingga makanan semacam itu, termasuk kolak,
kemungkinan dari sana.
Dwi
Cahyono, arkeolog dan dosen sejarah Universitas Negeri Malang, sebagaimana
dikutip oleh Risa Herdahita Putri dalam artikel berjudul “Dari Kilang Jadi
Kolak” menyatakan, etimologi dan tafsir terhadap penganan kolak merupakan
ikhtiar baik untuk menjadikan makanan sebagai media pembelajaran budi pekerti
dan penguat keyakinan keagamaan. Namun, bukan berarti bahwa muasal
kolak dari bahasa Arab. Etimologis yang demikian hanya mendasarkan pada
keserupaan istilah dan terkesan dipas-paskan.
Dengan membuat asal-usul kolak dari bahasa Arab, penganan ini kemudian diyakini berasal dari Timur Tengah. Alasannya karena orang Timur Tengah suka makanan manis, maka mungkin kolak dari sana. Padahal, masyarakat Nusantara sudah mengonsumsi minuman manis sejak masa Hindu-Buddha.
Informasi
soal minuman masa Jawa Kuno muncul dalam naskah maupun prasasti. Di antaranya,
ada yang disebut juruh, yaitu minuman yang terbuat
dari tanaman jenis palem. Ada pula kilang, minuman dari sari
tebu, yang disukai rakyat hingga bangsawan.
Dwi
Cahyono menguraikan, kilang disebut dalam Prasasti
Watukura (902 M) dan Prasasti Alasantan (939 M). Dalam naskah Jawa Kuna dan
Tengahan, minuman ini muncul dalam kitab Brahmanda Purana, Sumanasantaka, Arjunawijaya, Nagarakrtagama, Partayajna, Subhadra Wiwaha, Kidung Harsawijaya, Kidung Malat, dan Wangbang Wideya.
Kilang juga
digunakan untuk menyebut nira kelapa, aren atau tal yang direbus. Bila
direbus terus menerus, teksturnya akan mengental, kemudian bisa
dijadikan gula merah. Adapun pemanis berupa gula, dalam bahasa Jawa Kuna dan
Tengahan disebut gendis. Jadi, kolak yang berasa
manis karenanya termasuk kuliner yang disukai dari masa ke masa.
Masih
menurut Dwi, di samping pemanis, santan pun sudah biasa dipakai untuk memasak.
Bila santan dicampurkan ke dalam kilang, maka jadilah kuah kolak. Kuah kolak
dibuat dari campuran santan dan gula merah direbus hingga mendidih. Kemudian
dimasukkan buah-buahan, biji-bijian atau bahan makanan lainnya.
Sehingga,
terbayang bahwa kegemaran mengonsumsi kolak adalah kelanjutan dalam bentuk lain
dari kesukaan meminum kilang. Menurut Dwi, sebutan
kolak memang tak dijumpai dalam sumber tertulis masa Hindu-Budha.
Ia mungkin baru muncul pada masa yang lebih modern. Dengan kreativitas,
penganan itu diterjemahkan dalam bahasa yang bisa membuatnya menjadi media
dakwah.
Resep Membuat Kolak
Bahan:
- 10 buah pisang kepok matang, potong serong
- 800 ml santan dari ½ butir kelapa
- 150 gram gula aren/gula merah
- 70 gram gula pasir
- 1 sdt garam
- 200 ml air
- 2 lembar daun pandan buat simpul
Cara membuat:
- Rebus air dan gula aren hingga larut, kemudian saring dan tuang ke panci.
- Di atas api sedang, masak rebusan gula aren tersebut dengan daun pandan dan garam.
- Masukkan pisang kepok yang sudah dipotong-potong, aduk rata hingga pisang berwarna kecoklatan.
- Masukkan santan dan gula pasir, aduk agar santan tidak pecah.
- Setelah pisang empuk, matikan api, dan cicip rasanya.
- Bila dirasa sudah pas, sajikan dalam keadaan hangat maupun dingin, tetap enak!
- Selamat mencoba
Get notifications from this blog
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.