Kuliner dalam Tradisi Keraton Kesultanan Cirebon
Sebagai episentrum budaya, keraton memiliki banyak tradisi yang eksklusif dan sakral. Hampir di semua tradisi keraton, makanan atau kuliner selalu lekat di dalamnya. Buku berjudul Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon, Seri Gastronomi Tradisional Sunda ini mengungkap ragam kuliner etnik Sunda yang menyertai pelbagai tradisi yang ada di Keraton Kesultanan Cirebon.
Kesultanan
Cirebon sendiri merupakan salah satu kesultanan Islam ternama yang ada di Jawa
Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan ini menjadi kawasan transit
penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarpulau di Nusantara dan
belahan dunia. Dalam perkembangannya, situasi politik menjadikan Kesultanan
Cirebon pada tahun 1679 terpecah menjadi tiga bagian, yaitu Kesultanan
Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Pembagian
kesultanan itu secara otomatis menjadikan keraton kesultanan juga menjadi tiga,
yaitu Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Ketiga keraton ini tentunya
menyimpan sisi tradisi masa lalu yang masih dijalankan sejak Islam menjadi
agama resmi, termasuk yang ada kaitannya dengan kuliner.
Berdasarkan
sejumlah temuan dan pengakuan dari berbagai narasumber di ketiga Keraton Kesultanan
Cirebon, kuliner memegang peranan penting dalam setiap tradisi yang
diselenggarakan sepanjang tahunnya. Tradisi tersebut terkait dengan daur hidup
maupun yang rutin berdasarkan penanggalan tahun Islam (Hijriyah) atau Tahun
Jawa yang ada di Cirebon.
Berdasarkan
naskah Serat Murtasiyah, sebagai hasil kajian Zaedin dan Hasyim,
terungkap ragam upacara tradisi yang kerap diselenggarakan oleh masyarakat
Cirebon, termasuk lingkungan Keraton Kesultanan Cirebon. Di antaranya upacara Memitu,
upacara tujuh bulanan yang di dalamnya dibacakan pula naskah Serat
Murtasiyah. Bentuk sedekah yang diberikan berupa rujakan aneka buah-buahan
dan makanan lainnya.
Upacara
lainnya adalah Ngupati, yaitu upacara saat seorang ibu mengandung masuk
di bulan keempat. Pada masa kandungan empat bulan, diyakini oleh masyarakat
Cirebon sebagai masa ditiupkannya ruh ke dalam janin. Oleh karenanya harus
terhindar dari perbuatan dosa. Bentuk sedekah yang harus diberikan berupa
ketupat.
Selain
mengulas sejumlah tradisi yang kerap diselenggarakan di Keraton Kesultanan
Cirebon, buku ini juga menyajikan sejumlah data atau temuan menarik terkait
dengan ragam kuliner dalam acara tradisi di ketiga Keraton Kesultanan Cirebon,
yang ternyata sangat variatif dan unik. Setidaknya ditemukan 273 ragam kuliner
tradisional di tiga keraton Kesultanan Cirebon.
Dari 273
ragam kuliner itu, sebagian besar memang tidak ditemukan dalam hidangan
sehari-hari alias hanya bisa ditemukan dalam acara-acara khusus. Misalnya
Bekasem Ikan, yang hanya bisa ditemukan saat digelar tradisi Muludan. Atau Nasi
Anam—sejenis opor namun bahan baku dan bumbunya berbeda—yang hanya ditemukan
saat dihelat tradisi 9 Mulud dan malam Likuran (17,21, 23, 25, 27, dan
29 Ramadhan).
Namun
demikian, dari 273 ragam kuliner itu, ada juga yang bisa ditemukan setiap
harinya, bahkan saat ini populer sebagai ikon kuliner tradisional khas Cirebon,
antara lain Empal Gentong, Docang, Mi Koclok, Nasi Lengko, Empal Asem, Sate
Kalong, Tahu Gejrot, dan Gado-gado Ayam. Semakin komplet, karena buku setebal
554 halaman ini juga dilengkapi kumpulan resep kuliner tradisional Keraton
Kesultanan Cirebon, yang jenis atau ragamnya telah dikupas sebelumnya.
Buku ini
semakin menarik karena selain mengungkap ragam kuliner dalam tradisi Keraton
Kesultanan Cirebon, juga menggali dan meneliti sejumlah dokumen penting yang
berisi keberadaan kuliner Sunda kuno.
Ada 11 manuskrip
atau naskah Sunda kuno yang diteliti, meliputi: naskah Sanghyang
Swarwacinta, Para Putera Rama dan Rawana, Pendakian Sri Ajnyana, Kisah Bujangga Manik, Sewaka Darma, Sanghyang
Siksakandang Karesian, Carita Parahiyangan, Babad Dermayu atau Babad Carbon II,
Sajarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah Kuningan),
Serat Murtasiyah, dan Babad Sejarah Cirebon (Naskah Keraton Kacirebonan).
Salah
satu naskah, yaitu Sanghyang Siksakandang Karesian, merupakan manuskrip
yang ditulis pada bulan ketiga tahun 1440 Saka atau 1518 Masehi, berasal dari
Situs Kabuyutan Ciburuy, Garut. Manuskrip ini tersimpan di Museum Pusat Jakarta
bernomor kropak 630. Kandungan naskahnya berisi kekayaan budaya masyarakat
Sunda pada abad XVI Masehi yang terungkap lengkap dan terperinci sehingga
naskah ini dianggap sebagai ensiklopedi Sunda kuna.
Hasil bedah
11 manuskrip yang tertuang di buku ini menunjukkan temuan sangat menarik, yaitu
terkumpul 1162 kosa kata dan ungkapan kuliner yang di antaranya masuk ke dalam
klaster minuman, makanan, dan teknik kuliner. Temuan ini membuktikan bahwa
sejak berabad-abad lalu, bangsa Indonesia telah memiliki kemampuan literasi
yang sangat luar biasa. Tercermin dari pelbagai dokumen kuno yang memuat segala
narasi peradaban yang rinci, termasuk di bidang kuliner, khususnya kebiasaan
makan di sebuah masyarakat dan kesultanan di Indonesia.
Buku
yang ditulis oleh Riadi Darwis, dosen Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) NHI
Bandung ini sangat informatif sekaligus referensial. Kajian kuliner etnik yang
disertai dengan penelitian pelbagai manuskrip kuno seperti di buku ini perlu
terus didorong dan digalakkan. Karena sejauh ini belum banyak dilakukan. Kajian
sejarah kuliner penting dilakukan untuk menggali warisan budaya bangsa yang
adiluhung dan berfilosofi tinggi.
*Tulisan ini dimuat di koran Jawa Pos Radar Madura edisi Jumat, 5 Juni 2020
Data buku:
Judul: Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon, Seri Gastronomi Tradisional Sunda
Penulis: Dr. Riadi Darwis, M.Pd.
Penerbit: Selaksa Media (Kelompok Intrans Publishing) Malang
Cetakan
ke-1: Agustus 2019
Tebal: xxxii + 554
ISBN: 978-602-5437-25-0*Tulisan ini dimuat di koran Jawa Pos Radar Madura edisi Jumat, 5 Juni 2020
Get notifications from this blog
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.