![]() |
Soto Bangkong tempo dulu. (JatengnyamlengID/istimewa) |
Namun
sayang, buku itu dipinjam teman dan tak pernah pulang ke tangan saya. Bertahun
kemudian, saya kangen buku itu. Saya mencarinya di berbagai toko online.
Di Buka Lapak, Tokopedia, Shopee, dan market place
lainnya. Juga di penjual buku bekas di Facebook, Instagram, dan Twitter.
Hasilnya?
Nihil. Semua bilang stok kosong. Hingga akhirnya, tahun 2019, lewat Pak Saiful
Bahri, pendiri dan pengelola Kabar-e Semarang, saya mendapatkan buku
itu. Tapi versi yang berbeda, yaitu versi cetakan kedua (edisi revisi) yang
diterbitkan oleh Pustaka Semarang 16, terbit tahun 2011.
Tak
mengapa, karena isinya sama, bahkan ada revisi. Ada banyak kenangan tentang
Semarang yang terangkum di buku itu. Salah satunya, tentu saja, adalah soal
kuliner. Ada kupasan khusus soal kuliner itu dalam sebuah tulisan bertajuk Sepanjang
Jalan “Kenyangan”.
Saya
ingin mengajak Anda menyusuri sepanjang jalan kenyangan itu, bersama
sang guide, yaitu penulisnya Djawahir Muhammad. Penyusuran ini tentu
seperti mengajak Anda ke Semarang tempo doele saat buku itu pertama kali
ditulis dan diterbitkan, yaitu sekira tahun 1990-an atau bahkan sebelumnya.
Sekarang
mungkin sudah banyak berubah. Namun dengan menyusuri sepanjang jalan kenyangan
itu, kita akan mendapatkan pengetahuan betapa kuliner khas Semarang tempo doeloe,
meski bergerak dinamis tapi terus bertahan di tengah serbuan waralaba kuliner
modern.
Pisang Plenet
Pisang
plenet salah satu jenis makanan kecil khas Semarang. Rasanya sungguh lekker
alias enak, lezat. Dibuat dari jenis buah pisang yang betul-betul pilihan,
yaitu pisang raja “gondoroso” yang betul-betul masak, hingga keluarlah sari
madu dan aromanya ketika diplenet-plenet dan diasap di atas anglo
(tungku). Bahan bakarnya arang, bukan sembarang arang, melainkan harus dari
arang mlanding (pohon petai Cina) yang bersih dan bisa pating plethik
suaranya sewaktu membara.
“Pisang
yang gepeng empuk dan hangat itu ditaburi sedikit cokelat, stroberi, dan gula,
lalu dilumuri mentega, kemudian diangkat dari oven. Rasanya ditanggung tidak
luntur, sungguh-sungguh lekker koss kata orang Semarang, apalagi kalau
disantap selagi masih hangat bin kebul-kebul,” tulis Djawahir Muhammad.
Pisang
lekker tersebut dapat dinikmati sehari-hari karena banyak dijual, di antaranya
di depan pasar swalayan Sri Ratu Jalan Pemuda, muka Toko Abdulkadir di
ujung Jalan Gajahmada (orang Semarang menyebut “Duwet”), dan di Jalan
Widoharjo/Kampung Batik.
Makanan Khas Semarang Lainnya
Selain
pisang plenet, atau Djawahir Muhammad menyebutkan pisang planet atau pisang
lekker, ada banyak jenis makanan khas Semarang lainnya. Antara lain: lumpia
(harusnya lunpia), ganjel rel, bolang-baling, untir-untir, kuping gajah, tai
kucing, pistuban, srabi inggris, mendut, putu bumbung, enten-enten, putu
mayang, cethot, klepon, onde-onde ceplis, terang bulan, wingko, ketan salak,
ketan srikaya, bubur candil, bubur srabi, bubur sungsum, bubur delima, bubur
sagu, dan lain sebagainya.
Lunpia
banyak dijual di sepanjang Jalan Pandanaran, terutama di muka Toko Bandeng
Presto Randusari, muka Sri Ratu Pemuda dan Jalan Mataram Toko
Roti Sanitas, dan pertigaan Jalan Karangsaru.
Bolang-baling,
untir-untir, juga jakue (mungkin maksudnya cakwe), tiap pagi dan sore hari
dijajakan orang masuk kampung keluar kampung dengan sebuah tampah di atas
kepala penjajanya. Atau kalau mau yang khusus, yang ukurannya king size,
bisa membeli di pertigaan Jalan Gang Lombok dan pertigaan Jalan Wonodri Kopen
(kalau sore).
Djawahir
menulis, “Sementara kue srabi, pistuban, mendut, klepon, putu mayang, dan
enten-enten, dijual sebagai jajan pasar di pasar-pasar tradisional (Johar, Bulu,
Peterongan) maupun di pasar-pasar swalayan dan toko-toko P dan D modern. Tetapi
ketan salak, ketan srikaya, bubur sumsum, bubur srabi, bubur candil, bubur
sagu, dan terang bulan sudah cukup sukar diperoleh. Mungkin tinggal beberapa
orang yang masih setia menjualnya di pasar Bulu dan pasar Johar.”
“Apalagi
ganjel rel,” tulis Djawahir Muhammad lebih lanjut, “makanan dari bahan gandum
berwarna coklat dengan rasa khas yang gepeng bentuknya seperti bantalan sepur
ini sudah jarang dijual orang. Mungkin karena sudah makin banyaknya kue-kue
baru yang lebih lezat rasanya.”
Penganan Spesial Idulfitri
Di
antara makanan khas Semarang, ada yang hanya keluar setahun sekali, yaitu hanya
pada hari raya Idulfitri. Penganan itu adalah kuping gajah, kuping tikus, dan
tai kucing. Mereka keluar bersama emping mlinjo, onde-onde ceplis, dan kacang
goreng.
Ketiga
jenis kue kering dari bahan gandum itu, biasanya sudah dibuat jauh hari sebelum
hari raya tiba. Bentuknya memang persis seperti namanya masing-masing, ya
seperti telinga gajah yang pipih, kuping tikus yang kecil, dan maaf, tai
alias kotoran kucing yang kecil-kecil bulat-panjang dengan ujung-ujungnya yang
lancip.
Gelek, versi Bolang-baling yang Padat
Di
Semarang, di samping bolong-baling yang umumnya kopong, menurut Djawahir
Muhammad, dulu ada model bolang-baling yang padat. Namanya “Gelek”. Berbeda
dengan bolang-baling yang seluruhnya
dibuat dari gandum, gelek dicampur dengan tepung gaplek dari singkong.
“Nah, sebab itu perut Anda dijamin bakalan full-house, walau baru menyantap satu atau dua butir gelek yang sebesar jambu klutuk itu,” tulis Djawahir Muhammad.
“Dan,”
tulis Djawahir Muhammad lebih lanjut, “jangan coca-coba sesudah makan gelek,
Anda minum banyak-banyak, sebab gelek itu bakalan mengembang di usus Anda,
hingga dapat dipastikan jadi kemlekeren.”
Meski
bisa bikin tenggorokan seret, menurut Djawahir, gelek pernah menjadi
makanan favorit, khususnya bagi anak-anak sekolah dasar yang sangunya
pas-pasan.
Tahu Pong
Ini
penganan unik khas Semarang. Disebut tahu pong karena tahunya memang kopong
alias tidak ada isi. Dahulu, kata Djawahir Muhammad, tahu pong yang terkenal
dapat diperoleh di sekitar Jalan Kranggan dan Gajahmada, di warungnya Pak Man
Tahu, tapi agaknya kedua warung itu lokasinya sudah pindah entah ke mana.
Simpang Lima Jadi Pusat Kuliner
Simpanglima
benar-benar telah menjadi pusat berbagai jenis makanan, baik makanan laut (seafood),
masakan padang, warung Tegal, gudeg Yogya, soto Makassar, nasi gandul dari
Pati, sega liwet Solo, sate Madura, pecel Madiun, sop buntut Jakarta, mie
kopyok Hong Kong, dan seluruh masakan yang sudah atau belum dikenal.
“Begitu
senja turun, apalagi kalau udara terang benderang, maka seluruh pinggir jalan
di lokasi yang luas itu penuh bertebaran tenda-tenda warung makan, warung
minum, jagung bakar, dan lain-lain. Lha sekian banyaknya warung itu kok ya
lakuuuu semua...” tulis Djawahir Muhammad.
Pelbagai Minuman Khas Semarang
Adakah
minuman khas Semarang? Tentu saja ada, jawab Djawahir Muhammad, meskipun
mungkin agak sukar kita mendapatkannya sekarang, khususnya untuk beberapa jenis
yang sudah cukup langka. Sebut saja bir Semarang yang juga terkenal sebagai “bir
temulawak”.
“Dulu,
waktu belum banyak obat kuat atau ginseng, bir temulawak yang biasa dijual para
penjual gilo-gilo pernah menjadi minuman favorit penambah tenaga,
khususnya bagi para abang becak yang tipis kantongnya,” tulis Djawahir
Muhammad.
Setelah
bir temulawak hilang dari peredaran, muncullah anggur obat kolesom cap “Orangtua”
produksi Bapak Jenggot yang pabriknya di Jalan Layur, kemudian muncul juga
minuman yang lebih hot lagi, yaitu cong yang, yang karena kadar
alkoholnya berlebih-lebihan kemudian dilarang beredar.
Minuman
khas Semarang yang sekedar sebagai penghangat badan, bisa memesan wedang ronde
(yang di mana-mana juga ada), sekoteng, dan bandrek. Tapi kalau mau yang
benar-benar spesifik, boleh mencari yang namanya wedang tahu dan wedang jun
atau wedang blung.
Wedang
tahu tinggal seorang penjualnya dan biasa memikul angkringnya di sekitar daerah
Pecinan. Wedang tahu memang produk masyarakat Semarang keturunan Tionghoa.
Sedangkan wedang jun alias wedang blung sudah nyaris dilupakan orang, padahal
minuman ini sungguh nikmat rasanya.
Beberapa Rumah Makan Rekomendasi
Untuk
mengisi perut yang keroncongan karena lapar, bisa mampir ke restoran Semarang
di Jalan Gajahmada yang menyajikan aneka menu khas Semarang. Soto ayam Bangkong
di perempatan Bangkong dan Banyumanik juga bisa jadi pilihan.
Bisa
juga coba menelusup ke Kampung Bulustalan, di sana ada warung makan kecil di pinggir jalan raya yang sering
dilalui angkutan jurusan Johar-Karangayu yang masih menjual berbagai masakan
Semarangan, termasuk misalnya sop Semarang, gado-gado Semarang, dan maaf
kalau terdengar agak jorok, masakan yang paling banyak dipesan orang, yaitu
sate konthol kambing muda.
Sate Kambing Favorit
Bicara
soal kambing, menurut Djawahir Muhammad, Semarang adalah gudangnya sate
kambing. Antara lain sate kambing 29 di depan Gereja Blenduk, sate Kapuran di
Jalan Jagalan, dan sate Bang Dullah di rumah makan Nglaras Roso.
“Teman
saya, Dedi Setiadi dan Farouk Afero yang sutradara sinetron dan aktor film itu,
pernah saya ajak ke sana dan sejak itu selalu ganti mengajak saya ke sana kalau
lagi mampir ke Semarang,” tulis Djawahir Muhammad.
![]() |
Pasar Johar tempo dulu karya Ir. Thomas Karsten. (JatengnyamlengID/Istimewa) |
Masakan Padang
Bagi
yang menyukai masakan Padang yang pedas-pedas itu, tak bakalan kecewa.
Sepanjang jalan, kampung, gang dan lorong di kota Semarang memang sudah “dijajah”
orang Padang. Pusatnya adalah di rumah makan Nusantara dekat Tugumuda
dan Sari Medan di Jalan pemuda.
Toko Roti Oen
Toko
Roti Oen di Jalan Pemuda adalah toko kue kering dan es krim warisan zaman
Belanda yang masih saja terus bertahan dengan menu dan penampilannya yang
bergaya tempo doeloe. Perabotan meja-kursi, toples dan kostum pelayannya
pun masih model voor de oorlog. Bagi yang ingin bernostalgia, silahkan
mampir ke sana.
Masakan Eropa dan Lainnya
Bagi
yang suka bergaya “londo”, dapat memuaskan perutnya di berbagai hotel dan
restoran. Koki-koki berpengalaman di hotel Patrajasa, Santika, Grasia, dan
hotel-hotel berbintang di kota Semarang menyediakan hampir seluruh menu Eropa.
Juga
restoran khusus Eropa Boundy di Jalan Gajahmada dengan berbagai steak. Ayam
goreng Kentucky dijual di berbagai tempat, apalagi hotdog, burger, ham,
American donut, dan sebagainya.
Mau
masakan Korea? Ada Ganggang Sulai di Candi Baru. Ingin masakan Jepang?
Datang saja ke restoran Matsuri di Jalan Mataram/Jomblang.
Kuliner-kuliner Tamu
Ternyata
Semarang juga sudah lama ketamuan berjenis-jenis ayam goreng, baik ayam goreng Kalasan,
Nyonya Suharti, maupun ayam goreng Loka Tohjaya. “Menyusul tamu kita yang tak
mau pulang meski sudah berabad-abad lamanya di sini, siapa lagi kalau bukan
martabak Indianya Bang Rahman di Pasar Johar,” tulis Djawahir Muhammad.
Jalan Gajahmada Menjelma “Jalan Kenyangan”
Saat
ini, Jalan Gajahmada sudah benar-benar menjadi jalan tempat orang mencari
kenyang alias “jalan kenyangan”. Selain tahu pong di perempatan Kranggan dan
restoran lama lainnya, di bekas gedung bioskop Manggala sekarang berdiri
Semarang Food Court dengan berbagai ragam menu masakan ala Timur dan Barat.
Ada
juga restoran dengen model penyet yang tak kalah cengli dengan restoran fastfood,
ayam bakar dengan bumbu lombok ijo yang tak kalah keren dari fried chicken-nya
Kolonel Sanders dan McDonald.
“Begitu
kuatnya selera makan orang Semarang, sehingga setiap restoran baru muncul di
tengah, pinggir maupun pelosok kota, pengunjungnya selalu melimpah ruah,” tulis
Djawahir Muhammad.
Pusat Oleh-oleh
Djawahir
Muhammad menulis, “Pusat oleh-oleh di Jalan Pandanaran dengan bandeng prestonya
seakan-akan memperkuat ikon Semarang sebagai Kota Bandeng, selain Kota Lunpia,
Kota Wingko, dan sebagainya. Setiap hari, terlebih hari libur dan hari besar,
berderet mobil segala plat nomor dari seluruh Indonesia parkir di sana, dalam vision
sepanjang satu kilometer panjangnya, mulai dari perempatan Bergota sampai
Tugumuda.”
Penutup
Sebagai
penutup, Djawahir Muhammad menulis, “Di Jalan Gajahmada ada dua hotel baru,
Hotel Ibis dan Hotel Gumaya. Di Jalan Pemuda berdiri Hotel Novotel, sementara
di seantero kota, kampung, dan pinggir jalan, bermunculan mal dan mart-mart
alias pasar modern yang menawarkan pula beragam kenikmatan selera makan.
Celakakah pasar tradisional, warung hik, dan sega kucing?”
“Oh,
ternyata tidak! Meskipun kalah modal dan kalah moncer, Pasar Peterongan, Bulu,
Jatingaleh, Karangayu, dan konco-konconya senasib, masih terus dikunjungi
pembeli. Mereka lebih asyik bertransaksi di sini, tawar menawar alias nyang-nyangan,
sambil ber-alam-alaman, ngobrol ngalor ngidul bersama para bakul
yang kecut baunya, tapi ngangeni. Ah, asyik deh, hahaha.”
Demikian
Djawahir Muhammad. (BMA - Jatengnyamleng ID)