GprpTUr8Gfd9BSCoGpG6GpC8Td==

Sepanjang Jalan “Kenyangan” Kota Semarang Tahun 1990-an

Soto Bangkong tempo dulu. (JatengnyamlengID/istimewa)
Jatengnyamleng - Buku bersampul biru berjudul “Semarang Sepanjang Jalan Kenangan” itu sebenarnya telah lama saya miliki. Saya memperolehnya sekira tahun 1998 dari seorang tukang loak. Buku karya budayawan Semarang Djawahir Muhammad itu diterbitkan oleh Aktor Studio bekerja sama dengan Pemkot Semarang dan Dewan Kesenian Jawa Tengah, terbit tahun 1996. Buku berisi segala hal kenangan tentang Semarang.

Namun sayang, buku itu dipinjam teman dan tak pernah pulang ke tangan saya. Bertahun kemudian, saya kangen buku itu. Saya mencarinya di berbagai toko online. Di Buka Lapak, Tokopedia, Shopee, dan market place lainnya. Juga di penjual buku bekas di Facebook, Instagram, dan Twitter.
Hasilnya? Nihil. Semua bilang stok kosong. Hingga akhirnya, tahun 2019, lewat Pak Saiful Bahri, pendiri dan pengelola Kabar-e Semarang, saya mendapatkan buku itu. Tapi versi yang berbeda, yaitu versi cetakan kedua (edisi revisi) yang diterbitkan oleh Pustaka Semarang 16, terbit tahun 2011.

Tak mengapa, karena isinya sama, bahkan ada revisi. Ada banyak kenangan tentang Semarang yang terangkum di buku itu. Salah satunya, tentu saja, adalah soal kuliner. Ada kupasan khusus soal kuliner itu dalam sebuah tulisan bertajuk Sepanjang Jalan “Kenyangan”.

Saya ingin mengajak Anda menyusuri sepanjang jalan kenyangan itu, bersama sang guide, yaitu penulisnya Djawahir Muhammad. Penyusuran ini tentu seperti mengajak Anda ke Semarang tempo doele saat buku itu pertama kali ditulis dan diterbitkan, yaitu sekira tahun 1990-an atau bahkan sebelumnya.

Sekarang mungkin sudah banyak berubah. Namun dengan menyusuri sepanjang jalan kenyangan itu, kita akan mendapatkan pengetahuan betapa kuliner khas Semarang tempo doeloe, meski bergerak dinamis tapi terus bertahan di tengah serbuan waralaba kuliner modern.

Pisang Plenet
Pisang plenet salah satu jenis makanan kecil khas Semarang. Rasanya sungguh lekker alias enak, lezat. Dibuat dari jenis buah pisang yang betul-betul pilihan, yaitu pisang raja “gondoroso” yang betul-betul masak, hingga keluarlah sari madu dan aromanya ketika diplenet-plenet dan diasap di atas anglo (tungku). Bahan bakarnya arang, bukan sembarang arang, melainkan harus dari arang mlanding (pohon petai Cina) yang bersih dan bisa pating plethik suaranya sewaktu membara.

“Pisang yang gepeng empuk dan hangat itu ditaburi sedikit cokelat, stroberi, dan gula, lalu dilumuri mentega, kemudian diangkat dari oven. Rasanya ditanggung tidak luntur, sungguh-sungguh lekker koss kata orang Semarang, apalagi kalau disantap selagi masih hangat bin kebul-kebul,” tulis Djawahir Muhammad.

Pisang lekker tersebut dapat dinikmati sehari-hari karena banyak dijual, di antaranya di depan pasar swalayan Sri Ratu Jalan Pemuda, muka Toko Abdulkadir di ujung Jalan Gajahmada (orang Semarang menyebut “Duwet”), dan di Jalan Widoharjo/Kampung Batik.

Makanan Khas Semarang Lainnya
Selain pisang plenet, atau Djawahir Muhammad menyebutkan pisang planet atau pisang lekker, ada banyak jenis makanan khas Semarang lainnya. Antara lain: lumpia (harusnya lunpia), ganjel rel, bolang-baling, untir-untir, kuping gajah, tai kucing, pistuban, srabi inggris, mendut, putu bumbung, enten-enten, putu mayang, cethot, klepon, onde-onde ceplis, terang bulan, wingko, ketan salak, ketan srikaya, bubur candil, bubur srabi, bubur sungsum, bubur delima, bubur sagu, dan lain sebagainya.

Lunpia banyak dijual di sepanjang Jalan Pandanaran, terutama di muka Toko Bandeng Presto Randusari, muka Sri Ratu Pemuda dan Jalan Mataram Toko Roti Sanitas, dan pertigaan Jalan Karangsaru.

Bolang-baling, untir-untir, juga jakue (mungkin maksudnya cakwe), tiap pagi dan sore hari dijajakan orang masuk kampung keluar kampung dengan sebuah tampah di atas kepala penjajanya. Atau kalau mau yang khusus, yang ukurannya king size, bisa membeli di pertigaan Jalan Gang Lombok dan pertigaan Jalan Wonodri Kopen (kalau sore).

Djawahir menulis, “Sementara kue srabi, pistuban, mendut, klepon, putu mayang, dan enten-enten, dijual sebagai jajan pasar di pasar-pasar tradisional (Johar, Bulu, Peterongan) maupun di pasar-pasar swalayan dan toko-toko P dan D modern. Tetapi ketan salak, ketan srikaya, bubur sumsum, bubur srabi, bubur candil, bubur sagu, dan terang bulan sudah cukup sukar diperoleh. Mungkin tinggal beberapa orang yang masih setia menjualnya di pasar Bulu dan pasar Johar.”

“Apalagi ganjel rel,” tulis Djawahir Muhammad lebih lanjut, “makanan dari bahan gandum berwarna coklat dengan rasa khas yang gepeng bentuknya seperti bantalan sepur ini sudah jarang dijual orang. Mungkin karena sudah makin banyaknya kue-kue baru yang lebih lezat rasanya.”

Potret pedagang makan di Semarang tahun 1935. (JatengnyamlengID/Istimewa)
Penganan Spesial Idulfitri
Di antara makanan khas Semarang, ada yang hanya keluar setahun sekali, yaitu hanya pada hari raya Idulfitri. Penganan itu adalah kuping gajah, kuping tikus, dan tai kucing. Mereka keluar bersama emping mlinjo, onde-onde ceplis, dan kacang goreng.

Ketiga jenis kue kering dari bahan gandum itu, biasanya sudah dibuat jauh hari sebelum hari raya tiba. Bentuknya memang persis seperti namanya masing-masing, ya seperti telinga gajah yang pipih, kuping tikus yang kecil, dan maaf, tai alias kotoran kucing yang kecil-kecil bulat-panjang dengan ujung-ujungnya yang lancip.

Gelek, versi Bolang-baling yang Padat
Di Semarang, di samping bolong-baling yang umumnya kopong, menurut Djawahir Muhammad, dulu ada model bolang-baling yang padat. Namanya “Gelek”. Berbeda dengan bolang-baling yang seluruhnya  dibuat dari gandum, gelek dicampur dengan tepung gaplek dari singkong.

“Nah, sebab itu perut Anda dijamin bakalan full-house, walau baru menyantap satu atau dua butir gelek yang sebesar jambu klutuk itu,” tulis Djawahir Muhammad.

“Dan,” tulis Djawahir Muhammad lebih lanjut, “jangan coca-coba sesudah makan gelek, Anda minum banyak-banyak, sebab gelek itu bakalan mengembang di usus Anda, hingga dapat dipastikan jadi kemlekeren.”

Meski bisa bikin tenggorokan seret, menurut Djawahir, gelek pernah menjadi makanan favorit, khususnya bagi anak-anak sekolah dasar yang sangunya pas-pasan.

Tahu Pong
Ini penganan unik khas Semarang. Disebut tahu pong karena tahunya memang kopong alias tidak ada isi. Dahulu, kata Djawahir Muhammad, tahu pong yang terkenal dapat diperoleh di sekitar Jalan Kranggan dan Gajahmada, di warungnya Pak Man Tahu, tapi agaknya kedua warung itu lokasinya sudah pindah entah ke mana.

Simpang Lima Jadi Pusat Kuliner
Simpanglima benar-benar telah menjadi pusat berbagai jenis makanan, baik makanan laut (seafood), masakan padang, warung Tegal, gudeg Yogya, soto Makassar, nasi gandul dari Pati, sega liwet Solo, sate Madura, pecel Madiun, sop buntut Jakarta, mie kopyok Hong Kong, dan seluruh masakan yang sudah atau belum dikenal.

“Begitu senja turun, apalagi kalau udara terang benderang, maka seluruh pinggir jalan di lokasi yang luas itu penuh bertebaran tenda-tenda warung makan, warung minum, jagung bakar, dan lain-lain. Lha sekian banyaknya warung itu kok ya lakuuuu semua...” tulis Djawahir Muhammad.

Pelbagai Minuman Khas Semarang
Adakah minuman khas Semarang? Tentu saja ada, jawab Djawahir Muhammad, meskipun mungkin agak sukar kita mendapatkannya sekarang, khususnya untuk beberapa jenis yang sudah cukup langka. Sebut saja bir Semarang yang juga terkenal sebagai “bir temulawak”.

“Dulu, waktu belum banyak obat kuat atau ginseng, bir temulawak yang biasa dijual para penjual gilo-gilo pernah menjadi minuman favorit penambah tenaga, khususnya bagi para abang becak yang tipis kantongnya,” tulis Djawahir Muhammad.

Setelah bir temulawak hilang dari peredaran, muncullah anggur obat kolesom cap “Orangtua” produksi Bapak Jenggot yang pabriknya di Jalan Layur, kemudian muncul juga minuman yang lebih hot lagi, yaitu cong yang, yang karena kadar alkoholnya berlebih-lebihan kemudian dilarang beredar.

Minuman khas Semarang yang sekedar sebagai penghangat badan, bisa memesan wedang ronde (yang di mana-mana juga ada), sekoteng, dan bandrek. Tapi kalau mau yang benar-benar spesifik, boleh mencari yang namanya wedang tahu dan wedang jun atau wedang blung.

Wedang tahu tinggal seorang penjualnya dan biasa memikul angkringnya di sekitar daerah Pecinan. Wedang tahu memang produk masyarakat Semarang keturunan Tionghoa. Sedangkan wedang jun alias wedang blung sudah nyaris dilupakan orang, padahal minuman ini sungguh nikmat rasanya.

Beberapa Rumah Makan Rekomendasi
Untuk mengisi perut yang keroncongan karena lapar, bisa mampir ke restoran Semarang di Jalan Gajahmada yang menyajikan aneka menu khas Semarang. Soto ayam Bangkong di perempatan Bangkong dan Banyumanik juga bisa jadi pilihan.

Bisa juga coba menelusup ke Kampung Bulustalan, di sana ada warung  makan kecil di pinggir jalan raya yang sering dilalui angkutan jurusan Johar-Karangayu yang masih menjual berbagai masakan Semarangan, termasuk misalnya sop Semarang, gado-gado Semarang, dan maaf kalau terdengar agak jorok, masakan yang paling banyak dipesan orang, yaitu sate konthol kambing muda.

Sate Kambing Favorit
Bicara soal kambing, menurut Djawahir Muhammad, Semarang adalah gudangnya sate kambing. Antara lain sate kambing 29 di depan Gereja Blenduk, sate Kapuran di Jalan Jagalan, dan sate Bang Dullah di rumah makan Nglaras Roso.

“Teman saya, Dedi Setiadi dan Farouk Afero yang sutradara sinetron dan aktor film itu, pernah saya ajak ke sana dan sejak itu selalu ganti mengajak saya ke sana kalau lagi mampir ke Semarang,” tulis Djawahir Muhammad. 

Pasar Johar tempo dulu karya Ir. Thomas Karsten. (JatengnyamlengID/Istimewa)
Masakan Padang
Bagi yang menyukai masakan Padang yang pedas-pedas itu, tak bakalan kecewa. Sepanjang jalan, kampung, gang dan lorong di kota Semarang memang sudah “dijajah” orang Padang. Pusatnya adalah di rumah makan Nusantara dekat Tugumuda dan Sari Medan di Jalan pemuda.

Toko Roti Oen
Toko Roti Oen di Jalan Pemuda adalah toko kue kering dan es krim warisan zaman Belanda yang masih saja terus bertahan dengan menu dan penampilannya yang bergaya tempo doeloe. Perabotan meja-kursi, toples dan kostum pelayannya pun masih model voor de oorlog. Bagi yang ingin bernostalgia, silahkan mampir ke sana.

Masakan Eropa dan Lainnya
Bagi yang suka bergaya “londo”, dapat memuaskan perutnya di berbagai hotel dan restoran. Koki-koki berpengalaman di hotel Patrajasa, Santika, Grasia, dan hotel-hotel berbintang di kota Semarang menyediakan hampir seluruh menu Eropa.

Juga restoran khusus Eropa Boundy di Jalan Gajahmada dengan berbagai steak. Ayam goreng Kentucky dijual di berbagai tempat, apalagi hotdog, burger, ham, American donut, dan sebagainya.

Mau masakan Korea? Ada Ganggang Sulai di Candi Baru. Ingin masakan Jepang? Datang saja ke restoran Matsuri di Jalan Mataram/Jomblang.

Kuliner-kuliner Tamu
Ternyata Semarang juga sudah lama ketamuan berjenis-jenis ayam goreng, baik ayam goreng Kalasan, Nyonya Suharti, maupun ayam goreng Loka Tohjaya. “Menyusul tamu kita yang tak mau pulang meski sudah berabad-abad lamanya di sini, siapa lagi kalau bukan martabak Indianya Bang Rahman di Pasar Johar,” tulis Djawahir Muhammad.

Jalan Gajahmada Menjelma “Jalan Kenyangan”
Saat ini, Jalan Gajahmada sudah benar-benar menjadi jalan tempat orang mencari kenyang alias “jalan kenyangan”. Selain tahu pong di perempatan Kranggan dan restoran lama lainnya, di bekas gedung bioskop Manggala sekarang berdiri Semarang Food Court dengan berbagai ragam menu masakan ala Timur dan Barat.

Ada juga restoran dengen model penyet yang tak kalah cengli dengan restoran fastfood, ayam bakar dengan bumbu lombok ijo yang tak kalah keren dari fried chicken-nya Kolonel Sanders dan McDonald.

“Begitu kuatnya selera makan orang Semarang, sehingga setiap restoran baru muncul di tengah, pinggir maupun pelosok kota, pengunjungnya selalu melimpah ruah,” tulis Djawahir Muhammad.

Pusat Oleh-oleh
Djawahir Muhammad menulis, “Pusat oleh-oleh di Jalan Pandanaran dengan bandeng prestonya seakan-akan memperkuat ikon Semarang sebagai Kota Bandeng, selain Kota Lunpia, Kota Wingko, dan sebagainya. Setiap hari, terlebih hari libur dan hari besar, berderet mobil segala plat nomor dari seluruh Indonesia parkir di sana, dalam vision sepanjang satu kilometer panjangnya, mulai dari perempatan Bergota sampai Tugumuda.”

Penutup
Sebagai penutup, Djawahir Muhammad menulis, “Di Jalan Gajahmada ada dua hotel baru, Hotel Ibis dan Hotel Gumaya. Di Jalan Pemuda berdiri Hotel Novotel, sementara di seantero kota, kampung, dan pinggir jalan, bermunculan mal dan mart-mart alias pasar modern yang menawarkan pula beragam kenikmatan selera makan. Celakakah pasar tradisional, warung hik, dan sega kucing?”

“Oh, ternyata tidak! Meskipun kalah modal dan kalah moncer, Pasar Peterongan, Bulu, Jatingaleh, Karangayu, dan konco-konconya senasib, masih terus dikunjungi pembeli. Mereka lebih asyik bertransaksi di sini, tawar menawar alias nyang-nyangan, sambil ber-alam-alaman, ngobrol ngalor ngidul bersama para bakul yang kecut baunya, tapi ngangeni. Ah, asyik deh, hahaha.”

Demikian Djawahir Muhammad. (BMA - Jatengnyamleng ID)


Jasaview.id

Type above and press Enter to search.