Jejak Kuliner Pedas di Indonesia
Sengketa
merek ayam geprek milik Ruben Onsu bernama Geprek Bensu dengan I Am
Geprek Bensu milik Benny Sujono menghiasi lini media massa belakangan ini,
terutama media online. Sengketa itu selain menunjukkan pentingnya brand
dalam sebuah bisnis (tak terkecuali bisnis kuliner), juga menunjukkan potensialnya
bisnis kuliner pedas di Indonesia.
Ayam
geprek adalah salah satu jenis kuliner pedas yang berkembang di Indonesia.
Paduan ayam goreng tepung yang di-geprek dengan sambal, dengan tingkat
kepedasan tertentu, menjadi cukup fenomenal. Kuliner ayam geprek konon
dipelopori oleh Ruminah, seorang pemilik sebuah rumah makan di Yogyakarta.
Pada
tahun 2003, perempuan yang akrab disapa Bu Rum itu diminta oleh pelanggannya
untuk menambahkan sambal ulek di atas ayam goreng tepungnya. Hidangan ayam
geprek ala Bu Rum itu kemudian menjadi trending dan banyak ditiru oleh
rumah makan lainnya. Puncaknya, pada tahun 2017, ayam geprek menjadi fenomena
populer karena banyaknya gerai yang menyajikan hidangan ayam geprek di berbagai
kota di Indonesia.
Kuliner
dengan cita rasa pedas sesungguhnya telah menjadi bagian penting dalam tradisi
kuliner masyarakat Indonesia sejak dahulu kala. Hanya saja, pada masa sebelum abad
ke-16 Masehi, cita rasa pedas kuliner Indonesia belum diperoleh dari cabai atau
lombok (dari genus Capsicum) yang kita kenal sekarang ini.
Sejarawan
kuliner Indonesia Fadly Rahman dalam tulisannya bertajuk Melacak Jejak Cita
Rasa Pedas Dalam Kuliner Indonesia menyatakan, meski kini telah melekat
sebagai bahan pokok kuliner Indonesia, ternyata cabai bukanlah tanaman asli
Indonesia. Si pedas ini mulanya berasal dari Benua Amerika dan dibawa masuk
bersama sekitar 2000-an jenis tanaman lainnya pada abad ke-16 oleh para pelaut
Portugis dan Spanyol ke Asia Tenggara.
Meski
baru masuk ke Indonesia pada abad ke-16, namun masyarakat Indonesia sudah
mengenal kuliner pedas. Pada kuliner Jawa Kuno, sensasi pedas diperoleh dari
bagian rimpang dari berbagai jenis tanaman (rhizoma), salah satunya
adalah jahe. Dalam naskah sastra kuno dari Jawa Timur, Kakawin Bhomantaka
(atau Bhomakawya) disebut sebuah jenis sambal bernama “sambel jahe”.
Selain
jahe, masyarakat Nusantara telah mengenal tanaman bernama cabya sebagai
bahan pemberi cita rasa pedas. Cabya adalah tanaman dari genus lada dan
sirih-sirihan yang punya sifat sebagai rempah pemberi cita rasa pedas untuk
mengolah makanan. Pada masa lalu, tanaman ini banyak tumbuh di wilayah Jawa,
sehingga orang-orang Jawa menyebutnya cabya/cabé Jawa atau
lombok. Cabya Jawa kerap dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa kuno untuk
bahan membuat berbagai olahan bercita rasa pedas.
Setelah cabya
dan jahe, berkembanglah lada yang berasal dari kawasan Ghats, India, sebagai
varietas pemberi cita rasa pedas baru di Nusantara. Jenis pemberi cita rasa
pedas ini adalah salah satu komoditas rempah yang umum diperjualbelikan di
Nusantara pada masa niaga rempah-rempah (Abad 13-16 M).
Berkembangnya
lada menjadikan pamor cabya Jawa meredup. Setelah meredup, pada
perkembangannya, cabya Jawa masuk dalam kategori tanaman langka dan
pemanfaatannya di Jawa bergeser sebatas sebagai herbal atau jamu saja. Termasuk
juga pemanfaatan jahe.
Kemudian,
ketika Capsicum (cabai yang kita kenal sekarang) mulai masuk dan
dibudidayakan di Nusantara sejak abad ke-16, giliran lada yang pamornya
meredup. Meski lada masih bertahan dan dipakai sebagai pemberi cita rasa pedas
masakan, masyarakat Nusantara umumnya lebih memilih menyukai Capcisum
ketimbang lada dengan alasan lebih nyaman di mulut dan lambung.
Florencia
Irena Kurniawan dalam tulisannya bertajuk Bahan-bahan Sumber Cita Rasa Pedas
menyatakan, cabai yang umumnya ditemui di Indonesia merupakan cabai dari
spesies Capsicum annuum (cabai besar) dan Capsicum frutescens
(cabai rawit). Ada dua nama komersial dari cabai besar, yaitu cabai merah dan
cabai hijau. Cabai merah adalah cabai yang dipetik setelah masak, sedangkan
cabai hijau adalah cabai yang masih muda dan berwarna hijau.
Sekalipun
hanya 2 spesies, menurut Florencia, namun banyak varietas cabai yang dikenal
oleh masyarakat Indonesia, di antaranya: cabai besar, cabai keriting, cabai
rawit kecil/jemprit, cabai rawit ceplik, cabai rawit putih, cabe Flores, dan
cabai udel atau cabai bulat.
Buku
berjudul Kuliner Cita Rasa Pedas, Gigitan Nikmat yang Selalu Memikat persembahan
dari
Forum Komunikasi Kuliner Indonesia (Forkomkulindo) ini akan membawa kita
pada pengetahuan mendalam terkait jejak perjalanan kuliner pedas di Indonesia,
sejak dulu hingga perkembangannya sekarang. Sekaligus mengetahui seluk beluk dan
peluang pengembangan bisnis kuliner bercita rasa pedas di era modern.
Buku ini
sendiri berisi kompilasi dari makalah-makalah, dengan penambahan dan penyuntingan,
yang disampaikan dalam sebuah seminar kuliner bertajuk “Mengungkap Keunikan
Kuliner Bercita Rasa Pedas”. Seminar diselenggarakan pada 10 Mei 2018 di Gedung
Balai Pamungkas atas kerja sama Pusat Studi Pangan & Gizi UGM dengan
Fakultas Tekonologi Pertanian UGM, yang didukung oleh beberapa perusahaan
kuliner, yaitu Waroeng Serba Sambal (Waroeng “SS”), kelompok usaha kuliner Ayam
Penyet Surabaya, PT. Tiga Pilar, PT. Rizqiya, dan lain-lain.
Dengan
demikian, boleh dikata, buku ini merupakan referensi penting bagi pemerhati
kuliner, terutama kuliner bercita rasa pedas, dari berbagai kalangan termasuk
akademisi, peneliti, pelaku usaha, instansi pemerintah, dan masyarakat umum.
Karena buku ini, ditulis oleh para narasumber yang memiliki kepakaran dan kompetensi di bidang
kuliner bercita rasa pedas di Indonesia.
*Tulisan ini dimuat di koran Jawa Pos Radar Madura edisi Minggu, 28 Juni 2020 dengan judul "Jejak Kuliner Pedas Nusantara".
Data buku:
Judul: Kuliner Cita Rasa Pedas, Gigitan Nikmat yang Selalu Memikat
Penulis: Forum Komunikasi Kuliner Indonesia (Forkomkulindo)
Penerbit: Nightoon Cookeries, Yogyakarta
Cetakan
ke-1: 2019
Tebal: xii + 180 hlm
ISBN: 978-623-91466-1-0*Tulisan ini dimuat di koran Jawa Pos Radar Madura edisi Minggu, 28 Juni 2020 dengan judul "Jejak Kuliner Pedas Nusantara".
Get notifications from this blog
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.