Apa makanan terenak di dunia? Bila pertanyaan ini diajukan, jawaban masing-masing orang boleh jadi berbeda. Tapi situs berita CNN pernah merilis daftar makanan terenak di dunia yang diperoleh dari hasil voting di media sosial. Rendang khas Minang menempati peringkat pertama sebagai makanan terenak di dunia berturut-turut sejak tahun 2014 hingga setidaknya tahun 2017.
Makanan khas Sumatra Barat itu memang populer kelezatannya. Hingga kini, rendang tetap bertahan, bahkan banyak yang berinovasi di tengah serbuan kuliner modern. Buku berjudul Randang Bundo karya Wynda Dwi Amalia ini adalah salah satu buku yang secara khusus mengupas rendang berikut rahasia pengolahan serta pelbagai cerita di balik kelezatannya.
Buku ini awalnya adalah
tugas akhir Wynda di jurusan Desain Komunikasi Visual di President University.
Darah Minang yang cukup kental dari kedua orangtua hingga kakek neneknya, serta
kecintaannya terhadap masakan lokal, menjadikan Wynda yang lahir di Magelang,
12 Maret 1995 itu, tertantang untuk mengangkat rendang sebagai bahan tugas
akhirnya. Dari naskah tugas akhir itulah, lalu dikonversi menjadi buku ini.
Dalam buku setebal 120
halaman ini, Wynda secara khusus mengupas rendang secara komprehensif sejak
dari sejarah, keunikan, ragam, bahan baku, pengolahan, hingga varian. Pada setiap
bahasan, Wynda melengkapinya dengan info grafis yang menarik sehingga pembaca
mudah menangkap saripati informasi yang ia sajikan.
Dalam bab “Mengenal
Rendang”, Wynda menyatakan bahwa sesungguhnya di kota asal makanan ini yaitu
Sumatra Barat, orang setempat menyebutnya randang. Randang berasal dari kata “marandang”
yaitu memasak santan hingga kering secara perlahan. Namun, dalam realitas, kata
rendang lebih populer dan familier daripada randang. Bahkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) juga tertulis rendang, bukan randang.
Dari sudut history,
rendang telah menempuh perjalanan yang sangat panjang. Tidak banyak memang yang
benar-benar mengetahui asal-usul rendang, namun para peneliti menduga rendang
telah ada sejak abad ke-16. Catatan mengenai rendang mulai ditulis secara masif
pada awal abad ke-19.
Menurut Wynda, seorang peneliti pernah mencoba menjelaskan
beberapa literatur yang tertulis pada abad ke-19. Literatur tersebut antara
lain menyebutkan bahwa masyarakat Minang di daerah darek (darat) biasa
melakukan perjalanan menuju Selat Malaka hingga ke Singapura yang memakan waktu
kira-kira satu bulan melewati sungai. Karena sepanjang jalan tidak ada
perkampungan, para perantau menyiapkan bekal yang tahan lama yaitu rendang.
Versi lainnya
menyebutkan bahwa diduga dasar pembuatan rendang berasal dari masakan kari khas
India yang diperkenalkan pada abad ke-15. Hal ini sangat mungkin mengingat
adanya kontrak perdagangan dengan India ketika itu. Dipercaya bahwa pada abad
ke-14, sudah banyak orang-orang India yang tinggal di daerah Minang, dan bumbu
serta rempah-rempah sudah diperkenalkan oleh orang-orang tersebut.
Terlepas dari beragam
versi sejarah rendang, yang jelas bagi masyarakat Minang, rendang memiliki
posisi yang terhormat dan di dalamnya mengandung sejumlah arti yang mendalam.
Pada sub bab “Randang Memiliki Arti”, Wynda mengupas arti dan makna rendang ditinjau dari pelbagai macam bahan yang digunakannya. Pertama, rendang berbahan utama dagiang atau daging sapi. Daging melambangkan niniak mamak dan bundo kanduang, di mana mereka akan memberi kemakmuran pada anak pisang dan anak kemenakan.
Bahan kedua adalah
karambia atau kelapa, yang melambangkan kaum intelektual atau yang dalam
bahasa Minang disebut Cadiak Pandai, di mana mereka merekatkan
kebersamaan kelompok maupun individu.
Yang ketiga adalah Lado
atau sambal sebagai lambang alim ulama yang tegas dan pedas dalam mengajarkan
agama. Bahan terakhir adalah pemasak atau bumbu, yang melambangkan
setiap individu, di mana masing-masing individu memiliki peran sendiri-sendiri
untuk memajukan hidup berkelompok dan unsur terpenting dalam hidup
bermasyarakat di Minang.
Begitulah adiluhung-nya
makna di balik rendang daging sapi. Meski sejauh ini rendang identik dengan
daging sapi, namun sesungguhnya rendang khas Minang memiliki banyak variasi.
Variasi rendang ini bukan hasil kreasi atau turunan dari rendang daging sapi, melainkan
memang resep warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi dan di setiap
daerah di Minang memiliki ciri khas masing-masing.
Misalnya ada rendang
pensi khas Danau Maninjau. Maninjau terdapat di pesisir Pulau Sumatra dan
karena daerah ini dekat dengan pantai, hasil laut dijadikan olahan makanan
sehari-hari. Pensi adalah sejenis kerang yang berukuran cukup kecil, ketika
diolah menjadi rendang, kulit dari kerang disisihkan hingga menyisakan
dagingnya saja.
Rendang pensi biasanya
menggunakan tambahan lain yaitu daun pakis yang diolah lebih kering dan tidak
terlalu hitam. Terkadang rendang pensi diberi tambahan kelapa parut ke dalam
kuah santan.
Ada lagi rendang lokan
khas Painan. Lokan adalah kerang dengan cangkang cukup besar dan berasal dari
muara sungai. Ada lagi rendang baluik alias rendang belut khas Batusangka. Lalu
ada rendang itiak alias rendang itik dan rendang jariang alias rendang jengkol,
keduanya khas Bukittinggi. Dan banyak
lagi.
Setiap varian rendang
memiliki ragam bahan dan teknik pengolahannya masing-masing, yang resepnya
diungkap di buku ini. Ya, di dalam buku ini, Wynda Dwi Amalia memang tidak
hanya mengajak pembaca meneroka seluk beluk rendang secara mendalam dan
komprehensif, tetapi juga mengungkap resep rahasia membuat rendang yang lezat
asli warisan Sang Bundo yang telah digunakan sejak zaman dahulu.
*Tulisan ini dimuat di koran Jawa Pos Radar Madura edisi Jumat, 10 Juli 2020.
Data buku:
Judul: Randang Bundo
Penulis: Wynda Dwi Amalia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan
ke-1: 2019
Tebal: 120 hlm
ISBN: 978-602-06-2305-4*Tulisan ini dimuat di koran Jawa Pos Radar Madura edisi Jumat, 10 Juli 2020.
0 Komentar