GprpTUr8Gfd9BSCoGpG6GpC8Td==

Babi dalam Realitas Kuliner Indonesia

Babi dalam sebuah prasasti. (Istimewa)

Jatengnyamleng ID - Potongan video Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mempromosikan Bipang Ambawang khas Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu, viral di media sosial. Gegara video itu, kuliner berbahan babi tersebut menjadi populer karena menjadi bahan perbincangan, juga perdebatan—karena Bipang Ambawang disebut dalam momentum umat Islam Indonesia sedang menyambut lebaran Idulfitri.  

Tulisan ini tidak sedang ingin membahas sisi perdebatan yang sempat terjadi, tapi sekedar ingin menilik babi dalam realitas kuliner Indonesia. Sesungguhnya, babi sudah dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sejak ribuan tahun lalu. Lalu, sejarah menunjukkan, kedatangan Islam ke Indonesia mampu menekan laju konsumsi babi, sehingga babi kini hanya dinikmati kalangan tertentu (minoritas).

Sejarawan Anthony Reid dalam buku Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I menyatakan, di Jawa khususnya, kalangan istana telah memiliki tingkat konsumsi terhadap daging. Bahkan raja memiliki kebiasaan menyantap makanan yang “tidak biasa” atau aneh, seperti menyantap daging dari kambing yang belum keluar ekornya, penyu badawang, babi liar pulih, babi liar matinggantungan, dan anjing yang dikebiri.

Mpu Prapanca dalam Kitab Nagarakretagama yang ditulisnya menyebutkan jenis daging yang dihidangkan di Kraton Majapahit pada kurun abad ke-14. Babi merupakan salah satu protein hewani yang biasa dikonsumsi selain daging domba, kerbau, ayam, lebah, ikan, dan bebek.

Ketika agama Islam datang, pola makan itu pun berubah. Tidak mengonsumsi daging babi menjadi tolak ukur ketaatan seseorang terhadap agama. Reid memberi contoh, saat pengikut Ferdinand Magellan dari Portugis berkunjung ke Tidore, Raja Tidore meminta para pendatang itu membunuh semua babi yang mereka bawa dan raja menggantinya dengan kambing dan ayam dalam jumlah sama.

Babi dalam Buku Resep

Dalam perkembangannya, konsumsi daging babi tetap ada dalam masyarakat Indonesia. Daging babi memiliki captive market tersendiri dalam peta kuliner Indonesia. Dalam buku-buku resep masakan yang banyak terbit setelah Indonesia merdeka, banyak dijumpai resep-resep masakan berbahan babi, yang umumnya merupakan adopsi dari dapur kuliner Tionghoa (dan juga Eropa).

Sebuah buku terjemahan berjudul Buku Masakan karya WC Keuner terbit pada tahun 1950 oleh Badan Penerbitan G Kolff & Co Bandung, memuat resep-resep masakan Indonesia, Belanda, Tionghoa, dan lain-lain. Dalam buku ini resep-resep dari Tionghoa kebanyakan menggunakan bahan dari babi seperti Babi Ketjap, Babi Tjien,Tjap Tjhay, Bakmi, bahkan Lumpia (sekarang populer sebagai kuliner khas Semarang) juga ada menggunakan bahan babi. 

Dalam buku bertajuk Resep Masakan Umum karya Ny. Puspa yang diterbitkan penerbit Rapi (1976) berisi resep-resep masakan dari Cina, Eropa, dan India. Di bagian aneka resep masakan China lebih banyak lagi memuat resep-resep masakan dari bahan babi. 

Buku resep masakan lainnya, Masakan Se-Hari2 karya Eleonora yang diterbitkan oleh penerbit Loka Tjipta Semarang (cetakan ke-15, tahun 1977) juga memuat resep-resep masakan Indonesia, Tionghoa, dan Eropa. Pada resep masakan Tionghoa dijumpai resep-resep berbahan babi seperti Cah Tie Hwee, Pek Cai Theng, Je ca Kee, Sup Biji Cuki, Bakso Uter, dan banyak lagi.

Bahkan buku berjudul Resep Masakan Lengkap Kuwe-kuwe Pengetahuan PKK karya Nanik Harmani, dkk (terbit ± tahun 1972) oleh penerbit “KS” Solo, juga memuat resep-resep masakan berbahan babi seperti Babi Ketjap, Bakso Babi, Bakmoy, dan Masak Taodji. Padahal, sebagaimana dinyatakan penyusunnya pada kata pengantar di buku ini, “Dalam buku ini kami kemukakan pula garis2 besar tentang pengetahuan P.K.K.; dengan harapan semoga dapat membantu kelantjaran program Pemerintah dalam bidang Pendidikan Kesedjahteraan Keluarga, guna mentjapai masjarakat sedjahtera lahir dan batin jang diridohi oleh Tuhan J.M.E.” 

Buku Mustika Rasa, Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno sebagai buku masak satu-satunya yang penghimpunannya diprakarsai pemerintah Indonesia (oleh Presiden Soekarno ketika itu) juga tak luput memuat berbagai resep berbahan babi. Buku masak ini terbit tahun 1967 oleh departermen pertanian. Pada tahun 2016, buku ini kembali dicetak ulang oleh Komunitas Bambu pimpinan sejarawan JJ Rizal.

Fakta itu menunjukkan eksistensi babi dalam realitas kuliner Indonesia. Juga ekspresi dari keragaman khazanah kuliner Indonesia.

Akulturasi dan “Halalisasi”

Di samping fakta tersebut, yang penting diungkap dalam laju perkembangan kuliner Indonesia adalah adanya pengaruh budaya kuliner asing yang dibawa oleh imigram dari Tionghoa dan Eropa ke Indonesia, yang kemudian terjadi pergumulan budaya kuliner tersebut dengan budaya lokal (akulturasi dan asimilasi), sehingga melahirkan kuliner baru yang kini menjadi hidangan khas (signature dish) Indonesia. 

Dalam pergumulan budaya tersebut, seringkali terjadi proses “halalisasi” pada masakan-masakan yang awalnya berbahan non-halal. Sebut saja sekedar contoh yang terjadi pada lumpia. Kuliner yang kini populer sebagai oleh-oleh khas Semarang itu awalnya juga berbahan daging babi yang nonhalal.

Ceritanya, sebagaimana diketengahkan dalam buku Hidangan Lezat Semarang (penerbit Erlangga, 2010), pada akhir abad XIX, seorang pendatang dari Tiongkok bernama Tjoa Thay Yoe datang ke Semarang. Ia berjualan makanan berbahan daging babi dan rebung di Pasar Johar. Di sana, ia berjumpa dengan  pedagang makanan Jawa berbahan udang dan kentang bernama Wasih.

Setelah sekian lama bersama-sama berjualan di Pasar Johar, keduanya pun saling jatuh cinta dan menikah. Mereka kemudian menciptakan makanan bersama dengan membuang unsur non-halal, yaitu daging babi. Maka, terciptalah lumpia Semarang yang kita kenal sekarang. 

Pasangan ini kemudian dikaruniai seorang putri bernama Tjoa Po Nio. Dari anak inilah hadir lumpia-lumpia terkenal di Semarang: Lumpia Pemuda (Mbak Lien), Lumpia Gang Lombok, dan Lumpia Mataram. Lumpia Semarang memadukan bentuk dan nama makanan Cina dengan rasa manis dan gaya orak-arik isi khas Jawa.

Fenomena serupa juga terjadi pada kuliner-kuliner adaptasi lainnya seperti Bakso, Bakmi, dan Bakpia.  Kata Bak dalam nama kuliner ini menunjukkan “daging babi” (mendiang pakar kuliner Indonesia Bondan Winarno di bukunya menyatakan hal itu). Tapi fakta yang berkembang, kuliner-kuliner itu telah mengalami proses “halalisasi”, yaitu dengan menggantinya dari bahan nonhalal menjadi bahan halal seperti daging sapi dan ayam. 

Fenomena serupa juga terjadi pada kuliner lainnya seperti Swike khas Purwodadi (Jawa Tengah). Kuliner berbahan nonhalal (katak) itu kini sudah banyak dijumpai versi halalnya. Yaitu dengan mengganti katak yang nonhalal menjadi ayam atau menthok yang halal. Sehingga Swike Ayam atau Swike Menthok kini sudah menjadi kelaziman yang banyak dijumpai di Purwodadi. 

Pada akhirnya, babi memang tidak bisa dinafikan atau dieliminasi dari realitas kuliner Indonesia, sejak dulu kala hingga kini. Ia akan tetap ada, sebagaimana penikmatnya juga tetap ada. 

*Tulisan ini dimuat di rubrik ESAI koran Jawa Pos Radar Madura edisi Minggu, 30 Mei 2021.


Jasaview.id

Type above and press Enter to search.