![]() |
Es dawet, minuman menyegarkan khas Jawa. (JatengnyamlengID/Ist/Pixabay) |
Jatengnyamleng ID - Beberapa waktu lalu, viral sebuah lagu yang di antara
liriknya berbunyi “Jaka Tingkir ngombe
dawet, jo dipikir marai mumet”. Lirik ini kemudian menuai kontroversi karena
menyulut kritik pedas dari sejumlah ulama, di antaranya KH. Ahmad Muwafiq (Gus
Muwafiq) dari Jogjakarta dan KH. Anwar Zahir dari Bojonegoro.
Menurut mereka, lirik lagu itu dianggap “melecehkan” sosok Jaka Tingkir yang dalam jejak historiografi Jawa, Jaka Tingkir tidak hanya seorang raja dan pendiri Kesultanan Pajang, namun juga seorang aulia (wali). Bahkan secara silsilah, Jaka Tingkir disebut-sebut merupakan leluhur pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari, yang dengan demikian juga merupakan leluhur Presiden RI ke-4, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Terlepas dari kontroversi itu, dawet merupakan minuman tradisional Indonesia yang masih eksis hingga saat ini. Sering disebut “es dawet” karena hampir selalu dibubuhi es dalam penyajiannya. Selain es dawet, khazanah minuman tradisional Indonesia disemarakkan oleh eksistensi es cincau, es selendang mayang, es oyen, es gempol pleret, es kuwut, dan banyak lagi.
Belum lagi khazanah minuman tradisional dalam bentuk wedangan—biasa disajikan panas-panas, seperti teh talua, wedang ronde, bandrek, bajigur, wedang jun atau wedang blung, bir pletok, wedang uwuh, sarabba, dan banyak lagi.
Dawet sendiri hadir sebagai minuman tradisional Nusantara khas Jawa. Banyak dijumpai di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jogjakarta. Dawet berupa minuman yang terbuat dari tepung beras atau tepung beras ketan (dibuat cendol), lalu disajikan dengan santan dan gula merah cair, serta ditambahi es untuk menambah kesegaran cita rasanya.
Antara Dawet dan Cendol
Serupa dengan dawet adalah cendol yang populer sebagai minuman tradisional dari tatar Sunda (Jawa Barat). Menurut sejarawan kuliner Indonesia, Fadly Rahman—sebagaimana dikutip Kompas.com (17/07/2020), secara historis keduanya sama, hanya beda daerah penyebarannya.
Masyarakat Jawa Barat menyebut cendol, sedang masyarakat di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebut dawet. Secara rasa dan wujud, baik cendol maupun dawet—menurut Fadly Rahman, tidak ada bedanya.
Dalam buku 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (2015) disebutkan, cendol merupakan nama lain dari dawet. Sebagai dessert drink, cendol bukan semata-mata terdapat di Indonesia. Di beberapa negara Asia lainnya, seperti Malaysia, Myanmar, Vietnam, dan Thailand, cendol pun merupakan kudapan populer. Di Myanmar, cendol disebut mont let saung. Di Vietnam disebut banh lot, dan di Thailand disebut lot chong. Di Malaysia, cendol biasanya ditambahi kacang merah dan diberi toping durian.
Wikipedia mencatat, catatan tentang kata cendol atau tjendol dapat ditelusuri pada banyak kamus dan buku abad ke-19 di Hindia Belanda. Salah satu catatan tertua tentang kata tjendol yang diketahui tercantum pada Oost-Indisch kookboek atau buku resep Hindia Timur bertahun 1866. Buku ini memasukkan resep cendol dengan judul “Tjendol of Dawet” yang menandakan bahwa cendol dan dawet digunakan secara bersinonim pada masa itu.
Bila dicari perbedaannya, antara cendol dan dawet, boleh jadi terletak pada soal bahan, bentuk, dan teksturnya. Cendol umumnya dibuat dari adonan hunkwe dan tepung beras yang diberi warna dari perasan daun suji atau daun pandan. Adonan lalu dicetak menggunakan alat khusus yang membentuk lonjong.
Adapun dawet dibuat dari adonan tepung beras atau tepung beras ketan yang diberi warna hijau dari daun suji. Adonan lalu dicetak dengan alat berupa saringan berongga yang digoyang-goyangkan agar adonan jatuh. Bentuknya runcing di ujungnya. Cara membuat dawet ini lebih simpel dibanding membuat cendol.
Perbedaan bahan itu menjadikan tekstur antara dawet dan cendol sedikit berbeda. Tekstur dawet relatif lebih lembut, sedangkan cendol cenderung kenyal. Baik dawet maupun cendol, sama-sama disajikan dengan santan dan gula merah cair serta dibubuhi es. Keduanya sama-sama merupakan minuman tradisional yang manis dan menyegarkan. Banyak masyarakat Indonesia yang menyukainya.
Pada perkembangannya, masing-masing daerah, memiliki versi cendol dan dawet masing-masing dengan tambahan bahan-bahan tertentu seperti tape, irisan buah nangka, durian, dan lain sebagainya, yang semakin menambah kenikmatan cita rasanya.
Ragam Dawet Populer
Dalam khazanah perdawetan, banyak dijumpai ragam dawet yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri. Dawet yang pertama kali musti disebut, karena boleh dibilang, paling populer di antara jenis dawet yang lain, adalah dawet ayu khas Banjarnegara.
![]() |
Potret penjual dawet ayu khas Banjarnegara. (JatengnyamlengID/Ist/Pixabay) |
Dawet ayu khas Banjarnegara memang sangat populer. Para pedagang dawet dari Banjarnegara ekspansif ke berbagai kota untuk menjajakan minuman menyegarkan yang disukai banyak orang itu. Ciri khas penjual dawet ayu khas Banjarnegara adalah pada gerobaknya terdapat simbol Semar dan Gareng.
Dawet populer lainnya adalah dawet ireng khas Purworejo. Disebut dawet ireng, karena dawetnya memang berwarna ireng atau hitam karena diwarnai dengan abu dari batang padi (jerami) yang dibakar. Dawet ireng khas Purworejo ini juga mulai ekspansif ke banyak kota. Biasanya dijajakan di pinggir jalan raya.
Ragam dawet lainnya yang populer adalah dawet mantingan (Jepara) dengan karakteristik cendol yang cukup mungil dicampur dengan bubur pati yang memiliki rasa gurih dan manis. Menurut sebuah sumber, cendol mantingan dirintis oleh Mbah Sanisih pada sekitar tahun 1958.
Banyaknya penjual dawet di Jepara membuat Mbah Sanisih bereksperimentasi membuat resep baru. Ia memadukan cendol yang dibuat dari sagu aren—yang hanya ada di Jepara, khususnya daerah Plajan, dengan bubur pati. Gurihnya sagu aren itulah, yang menjadikan dawet mantingan menjadi favorit banyak orang, termasuk pelancong yang datang dari luar kota.
Di Jogjakarta, tepatnya di Pleret (Bantul), ada dawet gandul ketan yang dicampur dengan bubur sumsum dan bola-bola yang terbuat dari tepung ketan, rasanya kenyal dan gurih. Di Solo, ada es dawet telasih. Semarang juga punya dawet Semarangan dengan tambahan daging buah durian, tape ketan, dan potongan buah nangka.
Bahkan di Semarang, dahulu ada tradisi yang disebut “angon putu”. Budayawan Semarang (alm) Djawahir Muhammad menyebutkan tradisi angon putu itu dalam bukunya, Semarang Lintasan Sejarah dan Budaya (2016). Disebutkan, dalam tradisi angon putu, seseorang (kakek/nenek) momong cucu dan buyutnya dengan cara mengajaknya jalan kaki ke pasar dan membelikan mereka minuman es dawet. Jumlah cucu atau buyutnya itu sekurang-kurangnya dua puluh lima orang.
Di Jawa Timur, dawet juga eksis. Salah satunya yang populer adalah dawet siwalan. Selain itu, ada dawet jabung dari Ponorogo dan dawet batil dari Lamongan. Batil merupakan roti yang terbuat dari tepung beras, parutan kelapa, dan ragi. Dan kiranya banyak lagi ragam dawet yang eksis di Pulau Jawa, yang panjang bila disebut semua.
Dawet dalam Sejarah Pati
Menyebut dawet dari sisi historis, sering yang disebut adalah Banjarnegara karena di daerah ini ditemukan dawet ayu yang ikonik dan populer. Dawet ayu sendiri secara nomenklatur tergolong belum lama dibanding dengan historis dawet yang sudah eksis sejak berabad lampau.
Berdasarkan cerita, sebagaimana dikemukakan sastrawan Banyumas, Ahmad Thohari, pada awal abad ke-20 ada sebuah keluarga yang berjualan dawet. Generasi ketiga penjual dawet itu populer karena kecantikannya. Maka, dawet yang dijual pun kemudian masyhur dengan sebutan dawet ayu.
Tokoh Banyumas KH. Khatibul Umam Wiranu mendukung cerita itu. Menurutnya, nama dawet ayu muncul dari seorang penjual dawet bernama Munardjo. Istrinya terkenal cantik, sehingga dawetnya disebut dawet ayu.
Dengan demikian, genealogi dawet bukan berasal dari Banjarnegara. Apalagi jejak dawet terbilang sudah sangat lama, sudah sejak berabad lampau.
Sejarawan kuliner Fadly Rahman sebagaimana dikutip laman unpad.ac.id (28/9/2020) menyatakan, kuliner Indonesia banyak disebutkan dalam naskah kuno Nusantara. Pada naskah tersebut, beberapa kuliner Nusantara sudah ada sejak abad ke X Masehi, seperti pecel, sambal, rawon, kerupuk, hingga dawet.
Murdijati Gardjito, dkk dalam buku Gastronomi Indonesia Jilid 2 (2019) menyatakan, dawet juga menjadi bagian dari sejarah Pati. Disebutkan, pada abad ke XX-XI, pada era kerajaan Hindu-Buddha, daerah Pati sudah maju dalam perdagangan dan pertanian.
Pada abad XII, daerah Pati terbagi menjadi tiga kadipaten, yakni Kadipaten Paranggaruda—sekarang wilayah Godo, Kecamatan Winong; Kadipaten Carangsoka—sekarang Wedarijaksa; dan Kadipaten Majasem—di sekitar Desa Mojoagung, Kecamatan Trangkil.
Ketika itu meletus perang besar antara Paranggaruda dan Carangsoka yang berakhir dengan kemenangan Carangsoka di bawah pimpinan Adipati Puspa Andungjaya. Konsekuensinya, Paranggaruda menjadi bagian Carangsoka. Selain mengangkat Ki Dalang Sapanyana sebagai punggawa Carangsoka, sang adipati juga menikahkan anaknya, Dewi Rayungwulan dengan Raden Kembangjaya.
Carangsoka pun tumbuh menjadi kadipaten yang makmur. Sebagai antisipasi dan kewaspadaan kemungkinan perlawanan kembali Paranggaruda, Raden Kembangjaya meminta izin kepada mertuanya untuk tinggal di daerah penghubung antara Carangsoka dan Paranggaruda.
Sang Raden kemudian mengajak Ki Dalang Sapanyana untuk menyeberangi Bengawan Silugangga dan melanjutkan perjalanan ke selatan menuju daratan Tanah Jawa yang masih semak belukar. Mereka kemudian membabat hutan dan membuka lahan pemukiman.
Kemudian, muncullah Ki Sagalo, seorang penjual dawet yang ingin membaktikan diri kepada Raden Kembangjaya. Minuman yang dijual Ki Sagola menarik Raden Kembangjaya. Sehingga sang raden pun berinisiatif menggantikan nama Carangsoka dengan “Pesantenan” yang diambil dari jawaban Ki Sagola yang mengatakan, dawet terbuat dari santen (santan).
Pesantenan diambil dari kata dasar santen, karena menurut
anggapan Raden Kembangjaya, santan-lah yang menjadi sumber kenikmatan dawet.
Tak lama, Kembangjaya memimpin Kerajaan Carangsoka dan menerima warisan Kuluk
Kanigara serta Rambut Pinutung dari Raden Sukmayana yang telah meninggal dunia.
Kekuasaan itu membuatnya mampu memindahkan pusat pemerintahan Carangsoka ke kawasan
hutan Kemiri dengan nama Kadipaten Pesantenan.
Pemindahan bertepatan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Sejak
saat itu, nama Kembangjaya berubah menjadi Adipati Jayakusuma. Kadipaten Pesantenan
berkembang menjadi daerah dengan wilayah pertanian yang luas serta memiliki
pelabuhan besar di Cajongan. Daerah pelabuhan ini sekarang menjadi Kota Juwana—terletak
di sebelah timur Kota Pati.
*Tulisan ini tayang pertama di Ayobandung.com, edisi Kamis, 17 November 2022 dengan judul "Dawet, Minuman Khas Jawa dan Sejarah Pati" dengan perubahan seperlunya.