GprpTUr8Gfd9BSCoGpG6GpC8Td==

Potret Getuk dalam Khazanah Kuliner Jawa dan Jejak Historisnya

Getuk trio khas Magelang. (JatengnyamlengID/Ist/Unsplash)

Jatengnyamleng ID - Awal bulan Desember 2022, Kampung Singkong yang berada di Jalan Argowiyoto, Kampung Ngaglik, Kelurahan Ledok, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, menghelat event Festival Kampung Singkong. Festival tersebut berhasil memecahkan rekor pembuatan dan penyajian getuk terbanyak dan mendapat penghargaan dari Lembaga Prestasi Indonesia Dunia (Leprid).

Festival Kampung Singkong yang mengangkat tajuk “Mangan Singkong Sak Waregmu” dihelat selama dua hari, yaitu 3-4 Desember 2022. Kampung Singkong sebagai penggagas festival terdiri dari 38 UMKM yang semuanya mengolah penganan berbahan dasar singkong. Pemecahan rekor getuk terbanyak membutuhkan bahan dasar singkong sebanyak 200 kilogram dan bahan pendukung lainnya seperti kelapa, gula, garam, dan vanili.

Kota Salatiga sejak dulu memang terkenal dengan olahan dari singkong atau sering disebut juga ketela pohon. Selain getuk, di Salatiga juga terdapat olahan singkong lainnya yang juga banyak diburu oleh para pelancong atau pengunjung dari luar kota, yaitu singkong keju.

Singkong keju sebenarnya merupakan olahan dari singkong yang lebih sederhana cara pembuatannya dibanding pembuatan getuk. Namun, secara branding, singkong keju lebih kekinian dibanding getuk yang tradisional.

Singkong keju merupakan singkong goreng dengan tekstur “renyah di luar dan lembut di dalam” yang dilengkapi toping parutan keju dan susu kental. Juga taburan meses untuk versi kompletnya.

Potret Getuk dalam Khazanah Kuliner Jawa

Meski Kota Salatiga punya komunitas Kampung Singkong dengan salah satu olahan populernya adalah getuk—dan brand yang paling terkenal adalah getuk Kethek—namun Kota Salatiga bukan satu-satunya daerah penghasil getuk. Banyak daerah di Jawa, terkhusus Jawa Tengah, yang populer sebagai penghasil getuk dengan ciri khas masing-masing. Bahkan bukan Kota Salatiga daerah yang dijuluki sebagai “Kota Getuk” melainkan Magelang.

Sebelum Kampung Singkong Salatiga menghelat Festival Kampung Singkong dan menorehkan rekor dunia pembuatan dan penyajian getuk terbanyak, Pemerintah Kota (Pemkot) Magelang juga telah menggelar “Magelang Craft Expo dan Festival Gethuk 2022” yang menghadirkan pameran produk kriya, kerajinan UMKM, dan produk getuk di Alun-alun Kota Magelang, 5-7 Agustus 2022. Terkhusus Festival Gethuk, dalam gelaran ini disajikan aneka produk gethuk dari Magelang dan dari daerah lain.

Dalam khazanah kuliner Magelang, getuk khas Magelang disebut getuk trio. Getuk trio ini sangat populer sebagai ikon Kota Magelang. Bila berkunjung ke Magelang, getuk trio menjadi oleh-oleh yang paling diburu.

Disebut getuk trio, karena getuknya memiliki tiga warna, yaitu merah muda, putih, dan coklat. Sejumlah sumber menyebutkan, sebenarnya getuk trio ini merupakan transformasi dari getuk asli Magelang yang disebut dengan nama “getuk wungkal”. Getuknya berbentuk kotak, berwarna hitam, dan rasanya tawar.

Getuk wungkal ini banyak dinikmati oleh masyarakat kelas bawah sebagai pengganti nasi. Agar bercita rasa nikmat, getuk wungkal yang tawar disantap dengan parutan kelapa atau gula. Getuk trio diciptakan agar getuk bisa dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas.

Selain Salatiga dan Magelang, getuk dengan ciri khusus juga dijumpai di Kabupaten Grobogan. Getuk Grobogan umumnya dinikmati dengan parutan kelapa dan blondo yang bercita rasa legit dan gurih. Blondo terbuat dari santan yang dimasak dengan api besar di wajan. Setelah kadar air menyusut, api dikecilkan dan santan diaduk bila sudah mulai menggumpal. Gumpalan-gumpalan santan berwarna coklat itulah yang disebut blondo. Rasanya legit. Sangat nikmat bila dijadikan pelengkap makan getuk yang lembut.

Daerah lainya yang populer dengan getuk adalah Banyumas. Di sana, sangat populer dengan getuk goreng sebagai ikonnya. Getuk goreng khas Banyumas ini tepatnya berasal dari Sokaraja, yang juga populer dengan kuliner sotonya yang disebut sroto Sokaraja. Sesuai namanya, getuk goreng adalah getuk yang digoreng terlebih dahulu sebelum disajian.

Getuk lindri, salah varian getuk di Jawa. (JatengnyamlengID/Ist/Unsplash)

Dan masih banyak daerah di Jawa lainnya yang populer dengan getuknya. Getuk memang merupakan penganan tradisional khas Jawa. Getuk dapat dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Juga Jogjakarta. Selain getuk singkong biasa, juga dijumpai getuk lindri—getuk yang terbuat dari singkong, gula pasir, dan kelapa parut. Adonan getuk lindri biasanya dibuat warna-warni, dan dicetak dengan bentuk memanjang menyerupai mi yang digulung.

Selain dari bahan dasar singkong, dalam khazanah getuk, juga dijumpai getuk dengan bahan dasar lainnya yaitu ubi jalar, talas, dan pisang. Getuk berbahan dasar pisang atau disebut getuk pisang yang populer berasal dari Kediri, Jawa Timur. Pisang yang digunakan untuk membuat getuk tidak sembarangan, melainkan dari jenis pisang raja nangka yang tekturnya agak keras. Sehingga saat dikukus, daging pisang tidak lembek. Getuk pisang bercita rasa asam-manis yang khas.

Di blantika musik Jawa, terdapat lagu berjudul “Gethuk” yang dinyanyikan oleh Waldjinah—penyanyi spesialis keroncong langgam Jawa yang legendaris. Adapun liriknya dicipta oleh Manthous—seniman campur sari yang melegenda. Tahun 1990, lagu getuk dipopulerkan kembali oleh penyanyi dan aktris Nur Afni Octavia dalam album pop Jawa yang berjudul Gethuk.

Melacak Jejak Historis Getuk

Getuk dalam historiografi kuliner Indonesia sering disebut sebagai kudapan khas Magelang. Sehingga jejak historisnya seringkali merujuk kepada riwayat getuk Magelang. Padahal jejak historis getuk Magelang tidak lebih lama dibanding getuk di daerah lainnya.

Sejumlah sumber menyebutkan, getuk Magelang dikreasi pada era kolonialisme Jepang pada sekitar tahun 1940. Langkanya beras saat itu, menjadikan singkong dijadikan sebagai pilihan makanan pokok pengganti beras.

Sosok yang disebut-sebut sebagai kreator pertama getuk Magelang bernama Ali Mohtar dari Dusun Karet. Ia membuat singkong yang dikukus kemudian ditumbuk. Jadilah getuk. Kata getuk sendiri konon berasal dari bunyi “tuk tuk tuk” yang diperoleh saat singkong ditumbuk dalam proses pembuatan getuk.  

Getuk Magelang yang banyak dijumpai di pasaran ketika itu adalah getuk wungkal. Disebut getuk wungkal karena bentuk dan warnanya mirip ungkal dari batu cadas yang biasa digunakan untuk mengasah pisau. Getuk wungkal ini biasa dijadikan sebagai makanan pokok pengganti nasi oleh masyarakat kalangan bawah.

Agar getuk Magelang ini dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, oleh seorang warga Magelang lainnya bernama Hendra Samadhana berkreasi membuat getuk trio. Tahun 1958, Hendra mulai memproduksi getuk dengan mesin hasil modifikasi sendiri. Mesin ini dapat menggiling singkong menjadi halus dan lembut. Rupanya, getuk kreasinya itu disukai banyak orang.

Tahun 1960, saat Ratu Sirikit dari Thailand berkunjung ke Akademi Militer (Akmil) Magelang, getuk trio dijadikan sebagai salah satu kudapan yang dihidangkan. Ratu Sirikit pun mencicipi dan menyatakan getuknya sangat enak. Dari situlah popularitas getuk trio perlahan mulai meroket.

Getuk goreng ASLI H. Tohirin. (JatengnyamlengID/Ist)

Brand getuk trio baru digunakan pada tahun 1963. Nama Trio dipilih karena getuknya memang dibuat tiga warna, yaitu merah muda, putih, dan coklat. Selain itu, Hendra Sumadhana selaku kreator getuk trio, juga telah memiliki toko kelontong dan bengkel vulkanisasi ban yang bernama Trio. Sehingga toko oleh-olehnya yang menjual getuk trio dinamakan pula Toko Oleh-oleh Getuk Trio—meski saat ini getuk trio sudah diadaptasi dan diproduksi banyak produsen lainnya serta telah menjadi semacam “produk komunal” masyarakat Magelang.

Dari rangkaian jejak historis getuk Magelang yang baru eksis sejak tahun 1940, maka getuk goreng Sokaraja di Banyumas jauh lebih dulu eksis dari sisi waktu tempuh. Betapa tidak. Getuk goreng dikreasi pertama kali oleh H. Sanpirngad pada tahun 1918. Getuk goreng itu dikreasi secara tidak sengaja.

Suatu hari, getuk yang dijual H. Sanpirngad tidak habis terjual. Padahal getuk adalah penganan basah yang mudah basi. Maka, agar lebih awet, getuk yang tidak habis itu pun digoreng. Lalu dijajakan kembali. Nah, justru getuk yang digoreng itu disukai oleh masyarakat. Sehingga pada gilirannya, H. Sanpirngad tidak lagi menggoreng getuk yang hampir basi, melainkan sengaja membuat getuk dan digoreng.  

Getuk goreng itu kemudian makin lama makin berkembang dan menjadi oleh-oleh ikonik di Sokaraja hingga kini. Sebagaimana getuk yang dibuat lagu dan dinyanyikan oleh penyanyi keroncong legendaris Waldjinah, getuk goreng Sokaraja pun demikian.

Tahun 1972, seiring popularitas getuk goreng sebagai oleh-oleh khas Sokaraja, seorang dalang asal Sokaraja bernama Kartomiharjo menciptakan sebuah lagu berjudul “gethuk goreng”. Lagu itu juga dinyanyikan dan dipopulerkan oleh si penyanyi spesialis keroncong berjuluk “Si Walang Kekek”, Waldjinah.

Bila melihat jejak historis getuk goreng—yang awalnya juga getuk biasa, yang sudah eksis sejak tahun 1918, maka jejak historis getuk secara umum punya masa tempuh yang jauh lebih panjang ketimbang getuk Magelang yang baru eksis tahun 1940. Getuk, boleh bilang, merupakan penganan khas Jawa yang sudah melintas zaman.  


Jasaview.id

Type above and press Enter to search.