GprpTUr8Gfd9BSCoGpG6GpC8Td==

Berawal dari Ejekan Bos di Tempanya Kerja, Agus Prehatin Sukses Jadi Pengusaha Tempe

Agus Prehatin (35) dengan Tempe Cempluk produksinya. (BMA/JatengnyamlengID)
Jatengnyamleng ID - Berterima kasihlah kepada orang yang mengejekmu, karena bila engkau bisa menyikapinya dengan tepat, ejekan itu bisa melecutmu meraih tangga kesuksesan. Itulah kata mutiara yang bisa kita petik dari kisah sukses Agus Prehatin (35), yang berkat ejekan bos di tempatnya bekerja, ia terlecut untuk meraih sukses. Kini Agus, demikian ia akrab disapa, tergolong sukses menjadi seorang pengusaha tempe di desanya.

Cerita bermula ketika Agus bekerja sebagai koki di sebuah rumah makan di Tangerang, Banten. Setahun bekerja, Agus mengajukan resign karena gaji yang diterima tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh pemilik rumah makan tempatnya bekerja.

Dari situlah muncul ejekan dari bosnya. “Kalau kamu keluar dari sini, paling-paling juga akan kembali kerja di proyek,” begitu kira-kira ejekan bosnya. Sebelum bekerja sebagai koki di rumah makan itu, Agus memang seorang pekerja proyek (bangunan).

Ejekan bosnya itu tidak membuat Agus mengurungkan niatnya untuk resign, namun justru melecut semangatnya untuk membuktikan bahwa perkataan bosnya itu salah. Agus pun pulang ke kampung halamannya di Desa Rawoh, RT 04 RW 02, Kecamatan Karangrayung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Setelah resign, Agus berpikir untuk berwirausaha. Agus bertekad untuk tidak lagi kerja di proyek. Awalnya, ia sempat berpikir untuk membuka warung atau rumah makan di Kota Semarang. Bahkan ia sudah keliling Semarang untuk cari lokasi.

Tempe buatan Agus Prehatin yang diberi merek CEMPLUK. (BMA/JatengnyamlengID)

Namun, saat ia mampir ke tempat pakdenya yang tinggal di Mranggen, ia justru dilarang untuk membuka warung. Pakdenya menyarankan kepadanya untuk membuka usaha produksi tempe. Mengikuti jejak pakdenya itu yang juga seorang pengusaha tempe.

Agus pun kemudian mengikuti saran pakdenya. Kepada pakdenya, ia belajar membuat tempe. Setelah bisa, Agus membulatkan tekad menekuni usaha pembuatan tempe.  

Pahit Getir Merintis Usaha

Tapi berwirausaha tak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak tantangan yang harus dihadapi dan dilalui oleh Agus, yang bila tekad tidak bulat dan hati tidak tabah, ia akan mudah digulung oleh ombak putus asa.

Di awal-awal memproduksi tempe, tekad Agus benar-benar diuji dengan berbagai penolakan saat ia menawarkan tempe produksinya ke sejumlah warung. Saat menghadapi penolakan, bahkan ejekan dari pemilik warung, Agus menghibur diri dan berusaha memantapkan hatinya agar tidak putus asa.

“Hari ini kau menolak, besok-besok kau akan mencarinya,” kata Agus dalam hatinya.

Selama sekitar satu tahun, tekad Agus benar-benar diuji. Agus menyadari, sebagai pendatang baru di dunia pertempean, ia belum memiliki jeneng. Belum punya nama, sehingga wajar bila cenderung ditolak oleh pasar. Bahkan ukuran tempenya yang relatif lebih kecil dari ukuran tempe pada umumnya, acap menjadi objek ejekan. Tempe kok cilik, tempe kok cempluk. Begitu kata mereka. 

Meski ukuran tempenya lebih kecil, namun sejak menekuni usaha pembuatan tempe, Agus selalu berusaha menjaga kualitas produk tempenya. Tempe yang diproduksinya betul-betul tempe murni yang buang kulit hampir 80 persen.

Agus mengaku juga menggunakan air yang benar-benar bersih dan melalui rangkaian proses yang higienis. Bahkan awal-awal membuka usaha, ia sering ke Rumah Kedelai Grobogan (RKG) untuk belajar lebih dalam lagi terkait pembuatan tempe yang higienis.

Proses pengemasan tempe. (BMA/JatengnyamlengID)
Hingga saat ini, bahan baku kedelai untuk tempenya masih mengandalkan kedelai impor karena mudah didapat dan stok selalu ready. Bila menggunakan kedelai lokal, Agus mengaku, kadang susah mendapatkannya, sementara produksi harus terus berjalan setiap hari. “Walau mungkin nilai gizinya (kedelai lokal) lebih tinggi,” kata Agus.

Karena proses yang bersih dan higienis, Agus menjamin, tempe buatannya lebih tahan lama, bercita rasa lebih gurih, dan terhindar dari rasa pahit dan kecut yang umum terjadi pada produk tempe. Juga, kalau ini menurut para pelanggannya, tempe buatannya berwarna lebih fresh dan cerah saat digoreng.  

Pernah Hampir Putus Asa

Agus mengenang, saat awal-awal merintis usaha produksi tempe, tidak hanya penolakan dan ejekan atas ukuran tempenya yang cempluk (kecil) saja yang ia alami, namun juga ia musti bersabar karena lebih banyak rugi ketimbang dapat laba.

Apalagi saat awal merintis usaha, Agus belum memiliki sepeda motor. Ia memasarkan tempenya dengan sepeda onthel. Itu pun dilakukan sambil momong anaknya. Hasil yang didapat juga belum seberapa. Ia mengaku, nyaris tidak bisa memberi uang jajan kepada anaknya selama merintis usaha.

Bahkan, Agus mengaku pernah hampir putus asa dan mengakhiri usahanya. Saat itu, Agus mengalami kerugian sejumlah Rp 4 juta, nominal yang sangat besar baginya ketika itu. Beruntung, ada seorang pengusaha baik hati yang menolongnya. Pengusaha itu memberi modal dengan memasok kedelai kepadanya.

Perebusan kedelai selama dua jam dalam rangkaian proses pembuatan tempe. (BMA/JatengnyamlengID)
Pertolongan itulah yang membuat Agus bangkit dan meneruskan usahanya hingga saat ini. ”Pengusaha itu saat ini menjadi partner saya. Beliau yang memasok bahan baku kedelai untuk tempe yang saya produksi,” kata Agus.

Menikmati Hasil

Kata orang, hasil tidak akan mengkhianati usaha. Segala upaya yang dilakukan oleh Agus akhirnya membuahkan hasil. Saat ini, Agus bisa menikmati hasil dari kerja kerasnya. Setiap hari, kapasitas produksi tempenya mencapai 200 kilogram, dengan jumlah karyawan 8 orang. Bahkan pada momen-momen tertentu seperti lebaran, kapasitas produksinya bisa meningkat tajam hingga mencapai 500 kilogram per hari.

Setelah usahahanya berjalan lebih dari setahun, Agus bisa membeli sepeda motor. Bahkan saat usahanya berjalan dua tahun, Agus bisa melebarkan sayap penjualan tempenya ke 5 titik pasar, yaitu Pasar Godong, Pasar Truko, Pasar Karangrayung, Pasar Sedadi, dan Pasar Tanggungharjo.

“Sebenarnya pernah merintis penjualan di Pasar Gubug, tapi karyawan yang bertugas wanprestasi, akhirnya saya keluarkan dan belum ada gantinya hingga sekarang,” cerita Agus.

Pahir getir dan perjalanan jatuh bangun merintis usaha pembuatan tempe yang penuh lika-liku, sangat berkesan bagi Agus, dan bila mengenangnya, ia selalu ingin menangis.

Agus bersyukur, ejekan yang diterimanya justru melecut semangatnya untuk meraih sukses. Bahkan brand yang disematkan untuk tempenya juga berasal dari celetukan berbau ejekan atas ukuran tempe buatannya saat awal-awal merintis dulu. 

Ya, TEMPE CEMPLUK adalah nama brand tempe buatan Agus. Agus optimis, di masa mendatang, usaha tempenya akan semakin maju dan terus melebarkan sayap penjualan dengan tetap menjaga kualitas produknya. (Badiatul M. Asti - Jatengnyamleng ID)


Jasaview.id

Type above and press Enter to search.