GprpTUr8Gfd9BSCoGpG6GpC8Td==

Menggali Jejak Sejarah Sega Pager, Kuliner Khas Godong yang Ternyata Telah Eksis Sejak 1954

Sega pager, kuliner khas Desa Godong yang telah eksis sejak tahun 1954. (BMA/JatengnyamlengID)
Jatengnyamleng ID –Sega pager atau nasi pagar adalah hidangan sarapan khas Desa Godong, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Kuliner tradisional ini semakin dikenal khalayak setelah dihelat Festival Sega Pager pada Januari 2020 lalu, yang dihadiri Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.

Sebelum festival, sega pager awalnya sangat lokalistik. Hanya bisa dijumpai di tiga desa di Kecamatan Godong, yaitu Desa Godong, Desa Bugel dan Desa Ketitang. Setelah festival, sega pager tidak hanya semakin dikenal khalayak, namun juga menjamur lapak-lapak sega pager baru di lintas kecamatan, bahkan lintas kabupaten seperti Kudus dan Demak.

Meski telah semakin dikenal khalayak, sejauh ini jejak sejarah sega pager masih samar-samar. Telesik jejak sejarah dilakukan ke sejumlah penjual sega pager yang telah memiliki masa tempuh yang panjang dan merupakan generasi penerus dari penjual sega pager sebelumnya.

Awalnya, dari ketiga desa yang disebut, tak diketahui jejak historisnya, dari warga desa mana dari ketiga desa itu yang warganya mengkreasi atau menjadi kreator pertama kali sega pager.

Jejak yang terlacak hanya menyebutkan bahwa di masing-masing tiga desa itu, terdapat generasi penjual sega pager yang populer, yaitu Mbah Tur (Ketitang), Mbah Sin (Bugel), dan Mbah Nyampen (Godong). Ketiga nama ini sudah wafat dan disebut-sebut sebagai pelopor sega pager, setidaknya di kampung masing-masing.

Namun temuan baru menyebutkan, tiga nama yang disebut bukanlah pelopor awal atau perintis sega pager. Mereka bahkan disebut sebagai generasi ketiga sega pager.

Sega Pager, Eksis Sejak 1954

Muryono, tokoh masyarakat Desa Godong, menyatakan bahwa sega pager telah eksis sejak tahun 1954. Pelopor awal penjual sega pager itu bernama Ibu Supiyem dan Mbah Sarmi—keduanya warga Dusun Karanganyar, Desa Godong.

Baru kemudian disusul generasi penjual sega pager berikutnya, di antaranya Mbah Bentis dan Mbah Parmi Gembor. “Nah, Mbah Bentis inilah yang membawa sega pager ke Godong, sehingga kemudian diadaptasi oleh warga lainnya seperti Mbah Nyampen,” tutur Muryono yang berprofesi wartawan daring di Warta Javaindo.

Sega pager kemudian banyak diadaptasi warga kampung lainnya, hingga kemudian bisa dijumpai penjual sega pager lainnya pada masa itu seperti Mbah Tur di Desa Ketitang dan Mbah Sin di Desa Bugel.

Lapak Sega Pager Khas Godong Bu Jum, menantu generasi perintis sega pager, Ibu Supiyem. (BMA/JatengnyamlengID) 
“Jadi, sega pager itu awalnya ya berasal dari Dusun Karanganyar, Desa Godong. Sehingga boleh dibilang, sega pager adalah kuliner tradisional khas Desa Godong, tepatnya berasal dari Dusun Karanganyar,” tandas Muryono.

Bila saat ini, Dusun Karanganyar jarang atau bahkan sering tak disebut dalam setiap perbincangan terkait jejak sejarah sega pager, menurut Muryono, karena generasi awal sega pager di Dusun Karanganyar kebanyakan tidak memiliki generasi penerus.

Mbah Supiyem, misalnya. Salah satu perintis sega pager ini mengalami putus generasi, karena anak-anaknya tidak ada yang meneruskan berjualan sega pager. Baru sekitar tahun 2000-an, ada menantunya bernama Bu Jum, yang memulai berjualan sega pager. 

Potret Sega Pager Tempo Doeloe

Sega pager sendiri dulu lebih masyhur disebut sega janganan. Sega janganan atau sega pager adalah nasi dalam pincuk yang diberi urap sayur dan péthét rebus, lalu diguyur dengan sambal kacang dan diberi taburan uyah goreng.

Menurut Muryono, disebut sega pager karena dedaunan yang dijadikan sebagai sayuran pelengkap dalam menu tersebut diramban dari sekitar pagar.

Masih menurut Muryono yang lahir tahun 1959, dulu sayuran yang dijadikan sebagai urap dalam sega pager adalah daun mlanding muda, kèplék (mlanding muda), péthét (biji mlanding) lalu dicampur daun turi muda, dan bila tidak ada, bisa digunakan daun pepaya dan daun singkong.

Kepala Desa Godong, Zaenal Arifin, saat menyantap sega pager bersama tokoh masyarakat desa Godong, Muryono. (BMA/JatengnyamlengID)
Karena dulu jarang dijumpai taoge, maka sebagai gantinya, menurut Muryono, dimanfaatkanlah kulit singkong yang berwarna putih, yang telah dibersihkan dari kulit luarnya yang berwarna coklat. “Kulit ketela itu dipotong kecil-kecil sebagai pengganti taoge,” tutur Muryono.

Hal lainnya yang menandai ciri khas atau karakteristik sega pager adalah sambal kelapa (urap), sambal kacang, dan uyah goreng alias serundeng versi asin. “Cita rasa sambal kacang untuk sega pager berbeda dengan sambal kacang untuk nasi pecel. Sambal kacang untuk sega pager cenderung asin, sedang sambal kacang untuk nasi pecel cenderung manis,” tutur Muryono.

Pada perkembangannya, menurut Muryono, saat ini sayuran dalam sega pager lebih fleksibel dan bervariasai menyesuaikan sayuran yang mudah didapat. Ada yang memakai kembang turi, daun cikra-cikri, dan kacang panjang.

Adapun pincuk sebagai wadah menyantap sega pager, menurut Muryono, dulu menggunakan daun jati yang dilapisi dengan daun pisang. Sekarang cenderung daun pisang saja atau kertas minyak yang dilapisi daun pisang.  

Sega Pager Sebagai Ikon Kuliner Desa Godong

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Desa Godong, Zaenal Arifin, berharap sega pager dapat terus diletasrikan sebagai kuliner warisan leluhur yang telah berusia lebih dari setengah abad. Bahkan pihaknya telah berupaya agar kuliner tradisional ini bisa terangkat kembali sebagai ikon kuliner dari Desa Godong.

Pihaknya telah menginventarisasi pelapak sega pager di desa yang dipimpinnya tersebut dan sebagian telah difasilitasi pembuatan banner sebagai identitas masing-masing pelapak sega pager.

“Saat ini, di Desa Godong setidaknya ada 28 pelapak sega pager, baik yang merupakan generasi penerus penjual sega pager sebelumnya atau pelapak baru,” terang Zaenal Arifin.

Zaenal Arifin juga menyatakan, sega pager memiliki kaitan erat dengan jejak kearifan lokal yang dulu pernah menjadi tradisi masyarakat, yaitu dengan adanya pagar hidup, di mana pekarangan rumah dijadikan sebagai ketahanan pangan keluarga.

Karena itu, Zaenal Arifin berharap, sega pager bisa menjadi inspirasi dan pengingat akan kearifan lokal yang pernah menjadi bagian dari masyarakat tempo dulu, yang bisa diterapkan di era sekarang. (Badiatul M. Asti – Jatengnyamleng ID)


Jasaview.id

Type above and press Enter to search.